Senin, 20 Desember 2010

Mengadu Nasib di Jembatan Batanghari II

TANGAN kanannya memegang erat sebuah kipas, sementara  tangan kirinya membolak-balik jagung diatas pembakaran. Setiap hari itulah yang dilakukan Maimunah (38) penjual jagung bakar di Jembatan Batanghari II, Desa Kasang Pudak Kota Jambi.

Wanita tiga anak ini sudah berjualan jagung bakar delapan tahun lalu. Awalnya berjualan di kawasan Ancol, tepatnya di depan kediaman Gubernur Jambi, namun karena sepi pembeli dia mencoba membuka usaha di kawasan jembatan baru ini. “Ketika jembatan ini dibuka saya melihat banyak anak-anak muda yang berkunjung kesini. Makanya setelah dua hari buka saya jualan jagung bakar dan laris,” ujar warga Rt 09 Kelurahan Tanjung Sari, Kecamatan Jambi Timur ini kepada Media Jambi, Jumat, (9/12).
     
Untuk mendapat jagung mentah, Mai begitu wanita ini biasa disapa mengaku membeli dari petani setempat dengan harga Rp 1500 per buah. Setelah dibakar, dijual Rp 3.000/buahnya. Dengan dua rasa yaitu rasa pedas dan manis. “Memang agak mahal, karena jagung yang dijual jagung pilihan,” ujarnya.

Penghasilan yang didapat cukup lumayan, dalam sehari rata-rata terjual 60 buah jagung. Artinya penghasilan kotor Rp 180.000. Jika pengunjung ramai bisa mengantongi Rp 200.000. “Penghasilan bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan termasuk membiayai anak sekolah,” tambah dia.

Walaupun pekerjaaan terlihat enteng, katanya, tidak semua orang mau melakukannya, karena butuh kesabaran dan keuletan. Harus rela terkena debu kendaraan yang lalu lalang yang melewati jembatan ini. Sebab menunggu merupakan hal yang membosankan.

Sebelum berjualan jagung bakar isteri tercinta Agus Bermuda (45) ini pernah bekerja sebagai tenaga honorer di KPLP Jambi, kemudian juga pernah menjadi pedagang sayur di Pasar Kasang. Namun pekerjaan itu tidak dapat bertahan lama. “Akhirnya saya memilih berjualan jagung bakar di kawasan Ancol,” ungkapnya.

Pernah terlintas di pikiran untuk membuka usaha yang lebih besar dari berjualan jagung bakar ini, seperti kafé, namun hingga saat ini belum memiliki modal yang cukup.
Dia mengharapkan, pemerintah bisa dapat memprioritaskan masyarakat kecil untuk mendapatkan bantuan modal. Selama ini pemerintah hanya memperhatikan pedagang bermodal besar. “Mudah-mudahan apa yang saya dan teman-teman rencanakan dapat terrealisasi,” harapnya sambil mengipas jagung  di atas tungku pesanan pelanggan. 

Pelanggannya selain pengunjung yang datang untuk menyaksikan jembatan Batanghari II juga sering dipesan oleh pengendara yang akan ke Muara Sabak. Dia membi\uka usaha setiap hari mulai pukul 14.30-pukul 21.00 WIB. Jika lewat dari itu tidak ada lagi pengunjung yang datang. Apalagi sejak diresmikan hingga saat ini jembatan terpanjang di Provinsi Jambi gelap gulita.
  
Dia juga berharap kepada Pemerintah Kota Jambi dan Satpol PP tidak seenaknya menyita barang pedagang yang berjualan diatas jembatan. Karena apa yang dilakukan pedagang ini demi menghidupi keluarga. “Kalau selalu diusir dimana lagi kami mencari nafkah. Pedagang juga manusia, butuh makan dan membiayai anak sekolah,” pintanya. (mas)

Feryanto,Penjual Tanaman Hias Keliling Kampung


Menjual aneka tanaman hias keliling kampung dilakoni Feryanto (35) sejak tahun 1992 lalu. Dia Melihat peluang usaha penjualan tanaman hias ini masih terbuka lebar. Buktinya selama belasan tahun dagangan bunganya masih tetap bertahan. Tanaman hias yang dijualnya ada sekitar 30 jenis, diantaranya anturium, aglonema, jambu merah Thailand, aneka jenis keladi hias dan lain-lainnya. Tanaman ini sebagian dikembangkan sendiri dan sebagian lagi di pasok dari Solo Jawa Tengah. “Umumnya pedagang kembang berasal dari Solo,” ujarnya kepada Media Jambi, Sabtu (17/12) ketika tengah mangkal di Pasar Angso Duo Jambi.

Penghasilan dari hasil jualan tanaman hias cukup lumayan. Sebab Keuntungannya cukup besar mencapai 40 persen dari modal yang ditanamkan. Harga tanaman dijual berkisar Rp 40.000 – Rp 250 ribu/batangnya. Jualan kembang keliling kampung memang awal berat, namun setelah beberapa lama usaha ini berjalan dengan sendirinya. Modal utama selain ketekunan juga harus ramah dengan siapapun. “Bagi saya usaha jualan tanaman hias ini cukuplah untuk mencukupi kebutuhan harian karena setiap harinya tidak lepas 100.000 – 150 ribu bersih,” ujar Feryanto.

Pelanggannya umumnya ibu-ibu rumah tangga. Biasanya tanaman hias ini cukup laris di komplek-komplek perumahan yang baru dihuni. Terkadang mereka bisa membeli sampai 10 pot. “Jika laku 10 pot tentu untungnya cukup besar,” tambahnya.

Ayah dua anak asal Solo ini merantau ke Jambi sejak tahun 1990 juga membuka usaha depot tanaman hias. Dia mengaku tanaman hias yang dipasok dari luar daerah dipaketkan lewat pesawat, jika tidak maka bisa rusak. “Jadi biarlah biayanya agak mahal, asalkan barang yang dikirim bagus,” ujar Fery.

Agar orang tertarik dengan tanaman hias, biasanya kembang ditaruh dalam pot atau wadah yang kecil-kecil, selain bentuknya menarik harganyapun relative murah. Diakuinya, usaha tanaman hias saat ini stagnan sebab ada jenis-jenis tanaman tertentu yang sedang digilai konsumen. Untuk itu dia ingin membuka usaha depot agar jenis tanaman yang akan dijual lebih lengkap. “Juala tanaman hias kita harus mengerti selera konsumen dan tren yang berkembang saat ini. Makanya saya sedia 30 jenis tanaman,” kilahnya.

Selain jualan tanaman hias iapun menerima order membuat taman-taman untuk rumah dan perkantoran dengan sistem borongan. “Ada beberapa taman hias yang saya buat di Kota Jambi ini,” ungkap Fery yang tinggal di perumahan Bougenvile, Simpang Rimbo,
Kecamatan Kota Baru Jambi ini.(mas)

Minggu, 14 November 2010

Jangkrik yang Mendatangkan Duit


Fuad Mulyadi

KALAU dulu, jangkrik hanya dikenal sebagai serangga yang mengisi keheningan malam dengan suaranya yang khas berbunyi, krik.... krik. Dan binatang pengerik ini bisa ditemui berkeliaran di rawa-rawa dan semak belukar. Namun kini hewan kecil ini dibudidayakan bahkan bisa menjadi sumber pendapatan. Beternak jangkrik ternyata cukup menguntungkan.

Usaha satu ini terbilang cukup unik. Idenya datang dari penjual burung yang membutuhkan pakan untuk unggasnya. ”Saat jalan-jalan ke pasar burung empat tahun lalu, banyak orang (pedagang burung) yang menanyakan jangkrik tapi tak ada yang jual,” kata Fuad Mulyadi (38) menceritakan awalnya membuka usaha itu.
Beternak jangkrik tidak sulit, tanpa memerlukan keahlian khusus. Hanya butuh ketelatenan, didukung pengetahuan tentang jangkrik. ”Saya bukan ahli atau sarjana tapi belajar secara otodidak dengan membaca buku-buku tentang budidaya jangkrik. Akhirnya mengerti apa itu jangkrik dan bagaimana cara hidupnya,” katanya kepada Media Jambi saat berkunjung ke rumahnya, Rt 19 No 15 Kelurahan Jelutung Kota Jambi Jumat (12/11).

Budidaya jangkrik nyaris tak ada musuhnya, paling-paling semut dan cicak. Supaya aman jangkrik-jangkrik itu dibesarkan di dalam kotak.
Namun tidak semua orang mampu melakukannya. Banyak rekan-rekannya yang kecewa dan gulung tikar serta beralih pada usaha lain. Bagi ayah dua anak yang empat tahun membudidayakan jangkrik ini, jangkrik adalah permata yang belum digosok. ”Karena harga jangkrik saat ini sangat menggiurkan mencapai Rp 70.000/kg. Keuntungan yang diperoleh peternak sekitar Rp 30.000/ kg,” katanya. Masa panen dari budi daya itu cukup singkat, yakni berumur 30-45 hari. “Jika sudah panen, jangkrik dijual ke toko penjual burung dan pedagang lainnya,” tandas Fuad, panggilan akrabnya.

Makanan jangkrik mudah didapat, seperti sisa-sisa wortel, kol, daun pepaya, dan daun singkong, di samping konsentrat. Untuk beternak jangkrik, suhu ruangan atau kotak penyimpan harus dijaga agar stabil. ”Awas terkena racun saat memberi pakan, jangkrik bisa mati, karena sayuran pada umumnya masih ada yang beracun,” katanya saat membuka kotak tempat pemeriharaan jangkrik.

Selain untuk makanan burung, informasi yang diterimanya menyebutkan, tepung dan minyak jangkrik dapat dimanfaatkan untuk obat dan kosmetik. Sebab, jangkrik berprotein tinggi dan cocok untuk memelihara tubuh dari gangguan penyakit dalam.

Pihaknya hanya mampu menjual di pasar lokal, yang umumnya untuk pakan burung dan ikan arwana serta umpan pancing. Kendala yang dihadapinya hingga saat ini adalah jangkrik sering diserang penyakit. ”Sebab hingga saat ini belum ada vaksin yang bisa menyembuhkan penyakit jangkrik. Kalau jenis unggas ada, mungkin belum ada penelitian kali ya,” kata tamatan STM pembangunan yang memanfaatkan halaman belakang rumahnya sebagai tempat pembudidayaan jangkrik.

Awal tahun lalu ratusan ribu ekor jangkriknya mati terserang penyakit. Namun tidak menyurutkan niatnya untuk mundur atau berhenti dan tak ada kata frustasi. ”Karena terlanjur cinta, tidak seperti teman-teman lain, (jangkriknya) terserang penyakit lantas berhenti,” tuturnya seraya menambahkan, dia berkeinginan usahanya itu mampu menembus pabrik kosmetik, sehingga pernghasilan yang diperoleh setiap bulan selalu stabil. Berbeda bila dijual di pasaran, yang harganya tidak menentu.

Fuad berharap pemerintah daerah khususnya Dinas Peternakan membuat terobosan ekspor jangkrik. Selain itu juga melakukan penelitian terhadap penyakit yang menyerang hewan pemakan rumput ini. Dia juga bercita-cita membentuk wadah asosiasi peternak jangkrik Jambi. Karena saat ini banyak sekali peternak-peternak yang ada di Kota Jambi ini.(mas)

Norma Hutagalung, Mengais Rezeki di Taman Rimba


LEBIH 10 tahun lamanya, Norma Hutagalung (42) bertahan membuka usaha berjualan aneka makanan ringan di Taman Ria eks Arena MTQ Pall Merah Kota Jambi. Dari usaha inilah dia bisa memenuhi kebutuhan keluarga. “Saya mulai usaha, sejak ada MTQ Nasional tahun 1997 dan bisa bertahan hingga saat ini,” ujarnya kepada Media Jambi, Jumat (12/11)

Awalnya dia berjualan di luar arena, barulah pada tahun 2000 dibolehkan masuk di dalam arena. Dengan membayar uang retribusi kepada pengelola taman sebesar Rp Rp 1.000 setiap hari. Dari hasil berjualan ini dapat memenuhi kebutuhan keluarga.

Banyak pengalaman yang didapat selama berjualan. Diantaranya pernah digusur dan ditertibkan oleh Pemerintah Kota Jambi. Tahun 2000 lalu gerobak miliknya pernah disita oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Jambi. Akibatnya dia tidak bisa berjualan. Padahal inilah satu-satunya usaha memenuhi kebutuhan. “Pedagang kakilima juga warga Kota Jambi yang mengerti autran. Tapi apa boleh buat nafkah keluarga harus dipenuhi dan terpaksa berdagang di kakilima,” ujar ibu dua anak ini.

Berjualan di taman ini juga tergantung dari pengunjung yang datang. Jika banyak pengunjung yang datang penjualan juga banyak. Jadi kalau ditanya berapa besar pendapatan juga tergantung dari hasil jual-beli. “Namanya juga berdagang, tidak sama dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki gaji tetap setiap bulan,” tambah dia lagi.

Menurutnya, pengunjung ramai hari minggu dan sore hari. Karena setiap sore banyak anak-anak muda yang membawa pasangan. “Tentunya mereka yang datang setidaknya membeli aneka makanan ringan untuk bersantai. Tapi kalau musim liburan pengunjung cukup ramai, sehingga daganganpun laku,” ujar warga yang tinggal di Rt 17 Kelurahan Talang Bakung ini.

Tak banyak harapan yang diminta kepada pemerintah. Terpenting bagi dia dapat berjualan dengan tenang tak ada lagi pengusiran dan punggusuran. “Pemerintah dalam memberi bantuan hanya kepada mereka yang memiliki modal besar. Tapi tak pernah memperhatikan nasib para pedagang kecil seperti saya. Mungkin takut uang yang dipinjamkan tidak dapat dikebalikan,” ujarnya.

“Saya pernah mengajukan kredit pada bank, untuk menambah modal. Tapi harus ada jaminan sertifikat rumah. Rumah saja masih ngontrak dan untuk menambah modal terpaksa meminjam uang ke koperasi liar yang berbunga tinggi. Diangsur setiap hari,” tambah dia. (mas)

Senin, 08 November 2010

Bertani Jamur Tiram


Yudi Aditya (36) petani jamur tiram di RT 03 Kelurahan Pematang Sulur, Kecamatan Telanaipura Jambi memperlihatkan jamur siap dipanen. Usaha ini cukup

Yudi Adytia


Budidaya Jamur Tiram
Menguntungkan
BANYAK peluang usaha yang bisa dijadikan bisnis, salah satunya adalah bertani jamur tiram. Yudi Aditya (36) warga Lorong Jatra Rt 03 No 36 Kelurahan Pematang Sulur Kecamatan Telanaipura Jambi adalah satu dari beberapa orang yang membudidayakan jamur tiram putih (Pleurotus florida) yang kerap dikonsumsi untuk sayur. Walaupun, berulangkali gagal melakukan uji coba. Namun akhirnya berkat ketekunan dan ketelatenannya usaha ini berhasil, bahkan kini dia kewalahan memenuhi permintaan pasar.
“Kegagalan saya jadikan pemicu semangat sehingga berhasil mencapai 95 persen. Kendala yang dihadapi adalah proses fermentasi dan sterilisasi media serta sulitnya mendapatkan bibit jamur. Terkadang mutunya tidak bagus, karena bibit dikirim dari Bogor dan Yogyakarta,” kata lelaki lajang ini kepada Media Jambi saat berkunjung ketempat usahanya, Jumat (5/11).
Menurutnya, proses pembudidayaan jamur ini diawali dengan persiapan tempat penyemaian bibit atau biasa disebut bag-log yang merupakan tempat tumbuhnya jamur tiram. Dan untuk membuat bag-log dibutuhkan bahan-bahan seperti serbuk gergaji, dedak halus, tepung jagung, Gips (CaSO4), Kalsium Karbonat (CaCO3), TSP/SP 36 dan air secukupnya.
Semua bahan itu dicampur sampai rata kemudian diaduk sambil disirami air. Selanjutnya dimasukkan dalam kantong plastik dan dipadatkan dengan diberi leher dari pipa paralon atau bambu dan dilubangi pada bagian tengahnya lalu ditutup dengan plastik dan diikat dengan karet.
Setelah itu kantong disterilkan pada suhu 90 - 95 derajat celcius selama 5 - 8 jam. Pertumbuhan akan mulai tampak paling lambat 45 hari sejak proses inkubasi, dan bila media tampak kekeringan, perlu dilakukan penyiraman. Tapi juga tergantung jenis serbuk gergaji yang digunakan.
Bila serbuk gergaji yang digunakan kayu keras maka tumbuhnya agak lambat tapi masa produksinya panjang. Dengan suhu di tempat pemeliharaan 25 - 30 derajat celcius, kelembaban berkisar 85 hingga 95 %, dan bila dalam masa inkubasi terjadi kontaminasi, media tanam harus langsung dibuang dan jangan dipertahankan. Setelah satu bulan masa inkubasi, baru mulai tumbuh jamur tiram dan akan terus berproduksi selama 5 bulan ke depan.
“Saat ini saya memiliki bag-log sebanyak 2500 buah dengan hasil produksi 0,3 hingga 0,5 kilogram per-bag-lognya. Bag-log ini bisa berumur 5 bulan, selanjutnya sisa dari media yang tidak habis setelah panen bisa digunakan untuk pupuk organik (kompos) interval pemanenan dari 1 bag-log lebih kurang 3 minggu,” ujar alumnus Fakultas Ekonomi Unja tahun 2001 yang membudidayakan jamur tiram putih dengan membuat sebuah pondokan yang terbuat dari atap daun berukuran 10 x 6 meter.
Di dalam pondokan itu terlihat ribuan baglog yang disusun rapi. Pada bagian depannya terlihat memutih bertanda jamur akan mulai tumbuh. Sekali produksi setiap harinya tak kurang dari 7 hingga 10 kg dengan harga jual Rp 20.000 perkgnya. Kedepan jika ada modal yang cukup dia bercita-cita akan mengembangkan usaha secara komersial dan bersedia memberikan pelatihan bagi rekan-rekan yang berminat membudidayakan jamur. Karena usaha ini tidaklah terlalu sulit, dan memiliki prospek yang cukup cerah. Buktinya dia tak sanggup memenuhi kebutuhan pasar.
(mas)

Bordir Khusus Pakaian Wanita

BIASANYA pembordir mau menerima pesanan berbagai macam jenis bordiran. Tapi yang satu ini lain, dia hanya menerima bordiran khusus untuk pakaian wanita. Itulah yang dilakoni Yatti (33) seorang pengusaha kecil yang bergerak di bidang usaha bordir khusus pakaian wanita yang beralamat di Komplek Setia Negara No D4 Kelurahan Payo Lebar Kecamatan Jelutung Kota Jambi.
Bukannya tidak ingin menerima bordir jenis lain, namun orderan yang terlalu banyak tidak dapat dikerjakan karena keterbatasan alat dan tenaga kerja. “Saya mengkhususkan membordir pakaian wanita dan tidak menerima bordiran yang lainnya, karena saya merupakan pemasok bordiran di salah satu tukang jahit pakaian wanita yang ada di Kota Jambi ini. Dan kalau saya mengambil pesanan berbagai jenis bordiran khawatir tidak akan selesai bukan tidak bisa,” katanya kepada Media Jambi Kamis, (4/11).
Kendala yang dihadapinya sampai saat ini adalah masalah modal dan tempat usaha. Kalau memiliki modal cukup, dia bercita-cita membuka usaha yang lebih besar dan akan mempekerjakan beberapa orang karyawan. “Saat saya bekerja hanya bermodalkan satu buah mesin bordir, dari dulu hingga kini hanya kerja sendiri. Jadi bagaimana mau menerima karyawan. Terkadang banyak orderan yang tak dapat diselesaikan. Seperti menjelang lebaran kemarin orderan numpuk,” katanya.
Dalam sehari dapat kerjakan tidak kurang dari lima hingga tujuh helai pakaian. Tergantung sedikit banyaknya bordiran. “Jika bordirannya banyak ya waktunya agak lama. Jadi tergantung banyak sedikit bahan dan jenis bordiran,” ujar wanita yang memulai usaha sejak tahun 2003 lalu. Adapun jenis bordiran yang dibuatnya berupa serat suci, baju, selendang, dan rok.
Upah membordir dipatok antara Rp 15.000 hingga Rp 30.000 perhelainya, sesuai tingkat kerumitan motif yang diinginkan. “Kalau motifnya sulit ya upahnya juga mahal. Namun kita tidak dapat mematok harga. Harga bisa ditawar, tapi yang pantas. Jangan minta motif macam-macam nawarnya murah,” tandasnya.
Dia berharap instansi terkait agar memperhatikan para pengusaha kecil seperti dirinya. Minimal diberikan pinjaman modal bergulir seperti yang diberikan kepada pengusaha-pengusaha lain. Sejak memulai usaha hingga saat ini dia belum pernah mencicipi bantuan yang diberikan pemerintah. “Pemerintah jangan hanya memperhatikan orang-orang yang usahanya sudah maju. Mereka itu kan hidupnya sudah mapan dan tak perlu lagi dibantu,” tandasnya penuh harap.
Keterampilan membordir diperolehnya dari pelatihan yang diadakan PKK ditambah dengan ikut kursus membordir selama tiga bulan. Setelah selesai kursus mencoba bekerja di salah satu usaha bordir di Kota Jambi. Kemudian setelah mahir dia memutuskan keluar dan membuka usaha sendiri dan menawarkan hasil karyanya pada salah satu penjahit pakaian wanita. Itulah awal ketertarikannya membuka usaha membordir pakaian wanita. “Saya ini masih amatir belum profesional, masih harus belajar terus supaya mahir, dan usaha ini hanya usaha rumahan,” kata ibu dua orang anak ini.(mas)

Senin, 01 November 2010

Berkembang Karena Mengerti Nelayan


Koperasi LEPP Mitra Mandiri

USAHA pemberdayaan ekonomi pesisir melalui koperasi mulai membuahkan hasil nyata. Terbukti, Koperasi Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir (LEPP) Mitra Mandiri di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabar) berkembang pesat.

Koperasi yang berdiri sejak 2002 lalu dikomandoi H Andi Syarifuddin (61) mampu mendirikan beberapa unit usaha. Mulai dari simpan pinjam, Swamitra Mina (penangkapan ikan), kedai pesisir (sejenis usaha waralaba), hingga pengelolaan pabrik es. Hingga kini memiliki 29 karyawan.

''Tujuan utama LEPP meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi, dan penguatan kelembagaan ekonomi dengan mendayagunakan SDM perikanan dan kelautan secara optimal,” kata H Puding begitu dia biasa dipanggil.

Berikut Media Jambi akan menguraikan dua unit usaha yang dikelola oleh Koperasi LEPP Mandiri, yaitu kedai pesisir dan usaha pengolahan es.

Kedai Pesisir
Sediakan Kebutuhan Nelayan
Tidak banyak koperasi yang mampu bertahan lama. Kalaupun ada, aktivitasnya pasang dan surut. Bahkan, ada yang hanya menyisakan papan nama koperasi, sepi tanpa aktivitas. Tapi tidak dengan Kedai Pesisir yang merupakan gerai dari Koperasi LEPP Mitra Mandiri. Beralamat di Jalan Bawal Rt 28 Kampung Nelayan, Kecamatan Tungkal II, Kualatungkal. Kedai ini mulai beroperasi sejak 4 September 2006, dan hingga kini usaha terus berkembang, bahkan omzet per hari lebih Rp 1 juta.
“Kedai ini melayani kebutuhan nelayan terhadap sembilan bahan pokok (sembako), spare part (suku cadang) mesin perahu/kapal dan peralatan penangkapan ikan,” kata manajer Kedai Pesisir Rian Sagita SE kepada Media Jambi, Jumat (22/10). “Berkembangnya kedai pesisir ini ini karena para nelayan sudah mengerti arti pentingnya koperasi. Kita menerapkan sistem swalayan,” tambah Rian.

Sistem swalayan menghantarkan kedai pesisir Kualatungkal ini memperoleh predikat terbaik dari 50 kedai pesisir di Indonesia. Kedai ini juga memiliki sistem komputerisasi yang modern. Jumlah stok barang dapat diketahui dengan mudah.

Menurut alumnus Fakultas Ekonomi (FE) Unja tahun 2000, Kedai Pesisir ini dibuka dengan modal Rp 200 juta, Rp 120 juta untuk modal kerja dan 80 juta berupa investasi. Semua modal berasal dari Koperasi Swamitra. Kedai pesisir ini merupakan kedai periode ke-empat yang berkembang pesat.

Kedai yang beroperasi secara aktif sejak sejak Januari 2007 buka dari pukul 07.30 hingga pukul 22.00 WIB setiap hari. Didukung empat karyawan. “Kami buka dari pagi hingga malam. Sebab para nelayan terkadang pulang pagi dan tak jarang yang pulang malam. Mereka membutuhkan berbagai macam kebutuhan. Saat ini sudah ada 40 nelayan sebagai pelanggan tetap,” ujar Rian.

“Kedai Pesisir didukung SDM yang memadai. Maju mundurnya usaha ini juga tergantung anggota. Untuk hutang kepada pelanggan hanya dangan saling percaya. Karena terkadang sekali melaut belum tentu membawa hasil tangkapan,” tambah Sekretaris Koperasi LEPP Swamitra, Syafrudin SE.

Kedai Pesisir hanya melayani pelanggan dalam bentuk barang. Harga sembako dan kebutuhan nelayan lainnya yang dijual bersaing dengan toko-toko di Kota Kualatungkal. “Nelayan tidak perlu repot. Kembali melaut tidak perlu ganti pakaian dulu. Bisa langsung belanja, semua kebutuhan ada disini. Juga bisa berhutang menjelang menjual hasil tangkapan,” ujar Abduh (31) seorang nelayan saat membeli jala. (mas)

Buka usaha Pabrik Es


Dua kapal penangkap ikan bersandar di dermaga Pelabuhan Perikanan Pantai - PPI Kualatungkal. Kedua kapal itu antre membeli es di pabrik milik Koperasi LEPP Swamitra untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan mereka. Kedua kapal berukuran sekitar 10 ton itu siap berlayar mengarungi lautan pantai timur Sumatera untuk menangkap ikan selama lima hingga enam hari.

“Pabrik es Mandiri Bersama ini memproduksi 240 balok atau setara dengan enam ton es sekali proses 18 jam. Setiap balok seberat 25 kg dijual dengan harga Rp 8.000,” kata Ketua Koperasi LEPP Swamitra H Andi Syarifuddin kepada Media Jambi hari Jumat (22/10). “Setiap hari rata-rata terjual sebanyak 150 batang es. Namun terkadang mencapai 300 batang,” kata dia lagi.

Pabrik es yang baru beroperasi komersil sejak tahun 2007 lalu ini dilengkapi lemari penyimpan berkapasitas 350 balok es. “Lemari penyimpan ini masih kecil, untuk tahap awal cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan nelayan,” ujar Andi Syarifuddin.

Selain melayani empat pedagang ikan di Kota Kuala Tungkal juga melayani nelayan yang membeli langsung ke pabrik. “Untuk pelanggan tetap kita menyediakan servis yakni es diantar ketempat. Karena kita telah menyediakan satu unit pompong untuk itu,” tambah Syafruddin, pimpinan pabrik.

Sekarang ini kondisi nelayan sangat memprihatinkan, terutama nelayan tradisonal. “Selain karena harga kebutuhan naik, terutama bahan bakar minyak (BBM) cuaca kurang bersahabat. Bisa berubah dalam hitungan jam. Para nelayan sangat membutuhkan es guna mengawetkan hasil tangkapannya,” kata Andi lagi. Ada tiga hal penting yang membuat koperasi nelayan berkembang, yaitu memerhatikan kesejahteraan dan pelayanan sosial terhadap nelayan, keamanan dan harga jual hasil tangkap.

Mengelola Koperasi LEPP bagi H Andi merupakan sebuah pengabdian. Karena pernah merasakan pahit getirnya menjadi nelayan. Dia bertekad agar kelak nelayan bisa hidup layak dan memadai. Pendapatan nelayan itu tidak menentu. Bisa saja hari ini dapat rezeki cukup banyak, namun tak jarang pulang tanpa membawa apa-apa. Sama seperti rezeki harimau, kadang untung kadang rugi. “Saya tahu betul suka duka yang dialami nelayan saat mengarungi lautan. Ketika badai datang, kapal terombang-ambing,” ujarnya. (mas)

Minggu, 24 Oktober 2010

Perajin Keripik


KERIPIK yang dihasilkan Nurjanah (35) cukup diminati masyarakat, pemasarannya selain memenuhi toko-toko yang ada di Tungkal Ilir dan Tungkal Ulu juga telah merambah hingga ke Pulau Batam.f/mas

Nurjanah


Produknya Dikenal Hingga ke Batam

PAGI itu Nurjanah (35) perajin aneka keripik asal Desa Parit VIII, Kecamatan Bram Itam Kanan, Kabupaten Tanjung Jabung Barat bersama beberapa orang karyawannya sibuk sibuk mengemas keripik yang hendak dipasarkan. Meski usahanya berada di desa, namun produk hasilkannya dikenal hingga keluar daerah.
Usaha yang dirintis sejak tahun 2006 ini dimulai dengan coba-coba. Saat itu ibu dua anak ini mencoba membuat keripik pisang, terinspirasi karena di kebunnya cukup banyak pisang. Setelah dibuat dan dipasarkan ke warung-warung yang ada di sekitar desa ternyata diminati konsumen. “Karena laku keras saya mencoba mengurus izin ke Dinas Kesehatan,” ujarnya kepada Media Jambi, Jumat (22/10).
Keterampilan membuat aneka macam keripik ini dipelajarinya dari ibu-ibu PKK di desanya. Waktu itu ada program dari pemerintah untuk memberdayakan masyarakat tentang home industri yaitu pengolahan hasil pertanian. “Ada beberapa pelatihan yaitu membuat keripik pisang, ubi, tempe dan teknik membuat natta de coco dari air kelapa,” sambung isteri dari Asnawi (37) ini.
Dari aneka macam pelatihan itu ternyata yang bisa diterapkan adalah membuat keripik pisang, keripik ubi dan keripik tempe. Karena bahan baku di daerah ini cukup tersedia dan harga jual pisang saat itu sangat murah, mengingat jalan menuju daerahnya masih tanah. “Tidak seperti saat ini,” kata pemilik usaha keripik Alsi.
Sekali produksi wanita asal Lamongan Jawa Timur ini mengaku dapat mengolah 35 kg pisang tanduk, 40 kg ubi kayu dan 7 kg tempe. Untuk mengolah produk sebanyak itu dia dibantu tiga orang karyawan yang bekerja dalam proses produksi. Dua orang karyawan bertugas mengantarkan produk ke warung-warung yang ada di Kuala Tungkal hingga ke Pelabuhan Dagang, bahkan produknya juga sudah sampai ke Pulau Batam. “Selain memenuhi kebutuhan di Kuala Tungkal produk kita juga sudah sampai ke Kota Batam,” jelasnya.
Sedangkan harga jual produk rata-rata Rp 5.000/bungkus isi 150 gram. Dalam sehari terjual sekitar 200 bungkus. Produk yang dihasilkannya tidak menggunakan zat pengawet. Ketahanan produk paling lama hanya satu bulan, karena peralatan yang dimilikinya manual. Untuk laminating hanya menggunakan api lilin, dan proses pemotongan masih menggunakan pisau dapur.
Sehingga kualitas maupun kuantitas terbatas. Bebebrapa waktu lalu ada sebuah mall di Batam memintanya untuk memproduksi keripik pisang dalam jumlah besar. Namun ditolaknya, karena tak sanggup memenuhi kebutuhan secara rutin. “Pesanan dari mall saya tolak,” ujar perajin yang pernah mewakil Tanjung Jabung Barat pada Pameran Produk tingkat nasional di Jakarta tahun 2009 lalu.
Mengenai penghasilan dia mengaku cukup lumayan, dapat membeli dua unit sepeda motor, membeli kebun kelapa, menggaji karyawan dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Walau sudah cukup dikenal, namun hingga saat ini dia belum pernah mendapatkan bantuan, baik berupa pembinaan maupun bantuan modal. Pernah mengajukan pinjaman modal ke Bank, tapi proposal yang diajukan hingga kini belum mendapat tanggapan. “Jika mendapatkan tambahan modal saya yakin usaha ini dapat berkembang lebih pesat lagi dari yang sekarang,” tambahnya.
Dia berharap Bupati Tanjung Jabung Barat yang baru terpilih dapat membantu mengembangkan usaha mikro kecil. Sebab jika tidak diperhatian maka usaha-usaha kecil akan gulung tikar dan tak sanggup menutup kerugian.(mas)

Marsutiono, Belasan Tahun Berdagang Pisau Sadap

BAGI petani yang menjual komoditi karetnya ke Pasar Lelang karet baik di Desa Penerokan Kabupaten Batanghari dan Desa Bukit Baling, Kabupaten Muaro Jambi nama Marsutiono (41) tak asing lagi. Dialah satu-satunya pedagang pisau sadap di kedua pasar lelang karet tersebut. “Saya jualan pisau sadap sejak tahun 1988 lalu, jualannya keliling,” ujarnya kepada Media Jambi pekan lalu.
Pisau sadap merupakan peralatan yang mutlak dimiliki oleh petani penyadap. Dan pisau sadap ini tidak bisa dibuat sembarangan, sebab akan berpengaruh dengan hasil sadapan. “Tidak semua pisau sadap bisa digunakan untuk menyadap karet karena salah-salah bukan getah yang keluar, tapi kayunya bisa tergores yang berakibat matinya pohon karet,” jelas lelaki asal Kebumen Jawa Tengah yang merantau ke Jambi sejak tahun 1986 lalu.
Warga yang bermukim di Rt 06 Desa Penerokan, Kabupaten Batanghari ini mengaku selain menjual pisau sadap juga menjual aneka peralatan tani lain seperti pasang, arit dan dodosan kelapa sawit. Dia menawarkan dua macam pisau sadap, yang bertangkai besi dan bertangkai kayu. “Yang bertangkai besi dijual dengan Rp 25.000/buah dan yang bertangkai kayu Rp 17.000/buah,” ujarnya.
Ayah dua anak ini mengatakan kualitas hasil sadapan tanaman karet dipengaruhi tiga hal yaitu keterampilan penyadap, pisau sadap, dan umur tanaman. Dengan kombinasi tersebut, maka kerusakan tanaman seperti luka kayu yang timbulnya dapat dihindarkan. Saat ini banyak petani yang belum memahami hal tersebut. Sehingga banyak petani yang salah kaprah karena banyak pohon karet yang mati setelah beberapa tahun disadap.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Marsutiono berencana melakukan rekayasa pisau sadap yang mudah digunakan setiap orang. Pisau sadap yang dirancang dengan mata pisau yang digunakan untuk memotong kulit menyerupai bulan sabit mengikuti lengkung lilit batang pohon karet. Mata pisau mudah dilepas untuk diganti atau diasah agar tajam kembali.
Dia yakin usaha pandai besi dan berdagang pisau sadap memiliki prospek cerah masalahnya, selagi ada kebun karet maka pisau sadap tetap dibutuhkan. Dan diakui pisau sadap bisa bertahan hingga setahun. Karena bagian matanya yang tajam sangat tipis dan disesuaikan dengan kondisi pohon karet agar tidak melukai kayu.
Keuntungan yang diperolehnya dari berdagang pisau sadap ini bisa untuk mengansur kredit motor, menyekolahkan anak-anak dan memenuhi kebutuhan keluarga. “Kalau ditanya berapa penghasil ya sulit diprediksi. Tapi rata-rata laku 10-15 buah sekali jualan,” ujarnya.(mas)

Minggu, 17 Oktober 2010

Buka Kursus Menjahit, Atas Dorongan Warga


Keahlian menjahit dan membordir yang ditimbanya dibangku belajar memang tidak disia-siakan Sumirah (46) dengan membuka kursus menjahit. Namun usaha yang dirintis sejak tahun 1998 lalu itu berkembang atas dukungan warga. “Waktu itu banyak kaula muda yang ingin belajar menjahit,” ujarnya kepada Media Jambi yang ditemui ditempat usahanya di Desa Rasau, Kecamatan Renah Pamenang, Kabupaten Merangin, Kamis (7/10).

Wanita asal Yogyakarta yang merantau ke Jambi tahun 1985 ini mengatakan kursus menjahit yang dibukanya sebagai upaya untuk meningkatkan profesionalisme seseorang. Masalahnya tidak ada sekolah umum yang mempelajari suatu keterampilan secara mendetil. “Hanya melalui kususlah seseorang dapat mematangkan ilmunya. Saya mendalami keterampilan ini juga mengikuti berbagai kursus sebelumnya,” ujarnya

Ibu empat anak ini mengatakan untuk sampai ketingkat mahir dibutuhkan waktu 18 bulan. Dengan rincian enam bulan untuk tingkat dasar, enam bulan terampil dan enam bulan terakhir tingkat mahir. Namun demikian terkadang para siswa dalam belajar enam bulan tingkat dasar sudah bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik. Sehingga tidak dibutuhkan 18 bulan hingga memiliki keterampilan yang memadai.

Dikatakannya, biaya kursus perbulannya Rp 75.000 dengan proses belajar empat kali dalam seminggu. Dengan materi dan teknik menjahit berbagai jenis pakaian dan modelnya, baik pakaian wanita, anak-anak maupun pakaian pria. Karena yang terpenting dalam menjahit adalah bagaimana membuat pola. “Bila pola sudah ada kita tinggal memotong kain sesuai dengan dengan pola yang diukur sesuai dengan pesanan,” ujar wanita yang telah menelorkan sekitar 400 siswa ini.

Pemilik sanggar belajar mengajar Bekal Mandiri Desa Rasau ini mengatakan menjamurnya toko atau pasar swalayan yang menjual aneka jenis dan merek pakaian jadi memang mempengaruhi usaha menjahit. Namun masih banyak orang yang masih membutuhkan tukang jahit. Sehingga usaha menjahit masih berpeluang. “Tidak semua orang menyukai pakaian jadi, karena tidak senyaman pakain yang ditempah,” jelasnya.

Untuk itu seorang tukang jahit harus memiliki wawasan yang luas dan mengikuti perkembangan mode. Jika tidak maka usaha menjahit tidak akan laku dan pada akhirnya bisa gulung tikar. Karena tidak mendapat orderan disebabkan hasil jahitan tidak dapat memuaskan dan konsumen tidak mau lagi menjahit ditempat itu. “Saya juga berusaha mempelajari berbagai literatur baik tentang pola dan diterapkan kepada para siswa,” ujarnya.

Walau demikian katanya, peran pemerintah dalam membina usaha kecil dan menengah sangat berpengaruh. Karena umumnya pengusaha kecil dan menengah ini masih kekurangan modal untuk mengembangkan usaha. “Saya contohkan saja banyak para siswa yang membuka usaha menjahit kekurangan modal untuk membeli bahan pakaian,” ujarnya.

Dari belasan tahun membuka usaha, dia tergolong cukup berhasil karena selain dapat memenuhi kebutuhan keluarga, mendidik anak-anaknya, dan juga bisa membangun sebuah rumah permanen. Sebab keempat anaknya telah menyelesaikan di perguruan tinggi. “Alhamdulillah empat anak saya telah menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi,” ujar isteri tercinta Sutadi (48) bangga.(mas)

Musadat, Manjakan Konsumen Pecinta Burung


Berdagang burung, ternyata sangat berbeda dengan berdagang hewan unggas bernyawa lainnya. Walaupun Risiko kematian hewan tetap mengancam, tetapi sebagian pedagang tidak terpengaruh permasalahan yang selalu siap mengancam tersebut.

Pasar burung memiliki pangsa pasar khusus yang memanjakan penghobi burung. Mereka bisa berasal dari berbagai latar belakang profesi dengan hobi yang sama yaitu memelihara burung. “Peminatnya berasal dari golongan menengah keatas ini kerap hadir di setiap adu lomba burung berkicau.” ujar Musadat pedagang burung yang mangkal di pasar burung belakang Masjid Raya Magatsari kepada Media Jambi, Kamis, (14/10).

Baginya pecinta hewan peliharaan ini, jika menyukai seekor burung, maka berapapun harga yang ditawarkan penjual akan dibayar tanpa menawar lagi. Ditambahkannya modal pertama berdagang burung hanya tiga juta rupiah, lengkap dengan aneka burung serta sangkarnya. Burung-burung dagangan dipasok dari agen burung yang berasal dari Lampung, Palembang dan Pekan Baru. Sedangkan sangkar juga dipesan melalui agen dan dipasok dari Jawa.

Sejak empat tahun terakhir, dia mencoba untuk membuka usaha sendiri, setelah sebelumnya empat tahun bekerja dengan Mas Adi, seorang pedagang burung di wilayah Murni. “Jualan burung berkicau cukup menguntungkan, namun penuh resiko kematian,” ujarnya.

Aneka jenis burung yang dijual dan diminati pembeli antaranya murai batu yang bisa mencapai harga Rp 400 ribu, cecak ijo Rp 300 ribu dan kacer Rp 50 ribu, adapun burung-burung lain yang tetap dicari oleh pelanggan yaitu mandarin boksai dan boksai hongkong.

Burung-burung yang dipajang dikios musadat semuanya di bawa pulang kerumah, dan tiap harinya musadat merawatnya dengan memberi makan tiga kali sehari, adapun besar biaya makan para burung dagangan musadat bisa memakan biaya sebesar lima puluh ribu perhari.

Omset penjualan yang didapat sehari-hari berkisar antara seratus lima puluh ribu sampai dengan dua juta perhari jika sedang ramai, besar untungnya jika pendapatan lima ratus ribu, maka musadat bisa untung sampai dengan seratus lima puluh ribu rupiah.
Risiko menjual burung tidak terlalu besar, hanya capek merawat dan memberi makannya saja. Mengenai burung-burung langka yang dilindungi , saat ini sudah susah dicari kalaupun ada yang berani membeli hanya pihak-pihak tertentu yang kebal dengan hukum. (mas)

Rabu, 29 September 2010

Membeli bawang goreng


Pedagang pengecer membeli bawang goreng untuk dijual kembali.

Yosrizal


Pasarkan Bawang Goreng Hingga ke Kabupaten

AROMA bawang goreng menyeruak disekitar kediaman Yosrizal (44). Seorang pedagang bawang goreng di Jalan Dewi Sartika Pasar Kota Jambi. Meski terbilang usaha kecil dan menengah, siapa sangka tiap hari Yosrizal mampu menjual hingga 200 kilogram bawang goreng. Dengan harga jual rata-rata Rp 40 ribu per kilogram, omzet jual beli perhari mencapai Rp 8 juta.
Tidak hanya menguntungkan secara pribadi. Hadirnya beberapa usaha sejenis ternyata memberi keuntungan bagi kalangan ibu rumah tangga. Karena tidak perlu repot membeli bawang mentah untuk digoreng sebagai penyedap rasa masakan.
Dalam mengembangkan usaha, Yoyos—demikian dia biasa disapa mengaku memiliki sistem saling percaya. Dia tidak membeli barang dalam bentuk tunai. Melainkan berhutang pada pemasok. Setelah bawang goreng terjual, baru dia melunasi hutang pada pemasok.
“Karena saya tidak memiliki modal untuk membeli bahan baku secara tunai. Jadi utang barang dibayar dengan bawang goreng. Begitu juga halnya yang diterapkan kepada para pengecer. Pengecer membayar uang setelah barang laku terjual,” ujarnya menjawab Media Jambi, Jumat, (24/9).
Lelaki asal Sarolangun ini bercerita, awalnya hanya menjual lima kilogram bawang goreng untuk dipasarkan sendiri. Ternyata, usahanya mendapat sambutan hangat. Semakin waktu, jumlahnya meningkat hingga memiliki beberapa pedagang pengecer. “Padahal awalnya tidak ada pengalaman sama sekali. Yang penting mau tekun dan terus berusaha,” ujar suami Dewi (40) ini sambil terus menggoreng bawang.
Saat ini, dia mampu memproduksi hingga 200 kilogram bawang goreng yang dipasarkan oleh 30 pengecer. Tiap pengecer mengambil antara lima hingga 10 kilogram per hari. Dengan harga jual Rp 40.000/kgnya, omzet jual beli per hari mencapai Rp 8 juta. “Sedangkan bahan baku didatangkan dari Kerinci, Dumai Provinsi Riau dan dari Pulau Jawa,” ujar lelaki yang membuka usaha sejak tahun 2008 di Jambi dan mengaku juga pernah membuka usaha serupa di Pekan Baru Riau dan Kota Bangko.
Setiap hari, dia membutuhkan 40 kilogram minyak goreng dan dua tabung gas elpiji ukuran 15 kilogram. Laju usaha yang terus berkembang membuat dia mampu mempekerjakan 10 karyawan untuk mengupas dan mengiris bawang. Sedangkan proses penggorengan tetap dilakukan sendiri untuk menjaga kepercayaan konsumen.
Pemasaran bawang goreng produksinya tidak saja di pasar tradisional yang ada di Kota Jambi. Namun merambah hingga ke Sarolangun dan Bangko. “Mudah-mudahan jika di Jambi sukses, saya akan membuka cabang di Kota Palembang,” ujarnya.
Dia tak ingin menjual produknya ke pasar swalayan, karena bagi kalangan menengah ke bawah jarang berbelanja di pasar swalayan harus membeli dalam jumlah yang banyak. Ibu-ibu rumah tangga biasanya kantongnya terbatas dan hanya bisa membeli dalam jumlah kecil. “Jadi kalau membeli dengan pengecer bisa beli setengah ons saja,” tambahnya.
Guna menambah modal usaha, dia beberapa kali mengajukan pinjaman modal ke Bank baik milik pemerintah maupun swasta tapi tak ada satupun proposal yang diterima. Padahal usaha ini memiliki peluang yang cerah. Karena usaha semacam ini diyakininya dapat berkembang seiring dengan perkembangan zaman. “Setiap masakan tentunya membutuhkan bawang goreng untuk penyedap rasa,” ujarnya lagi.
Walau tidak mendapat tambahan modal dari Bank, namun Yoyos tidak kecewa, karena dari hasil usaha yang ditekuni itu dapat menyewa dua unit ruko yang digunakan untuk proses produksi, dan menyimpan bahan baku. “Yang jelas ekonomi keluarga dan gaji karyawan dapat tertutupi. Kalau keuntungan tidak bisa diprediksi, usaha tergantung situasi pasar, sebab harga bahan baku selalu berubah-ubah,” jelasnya.
(mas)

Emmy : Berbekal Kepercayaan


EMMY (32), seorang pengecer bawang goreng di Pasar Keluarga Kelurahan Simpang III Sipin Jambi mengaku dagangan bawang gorengnya cukup laris terjual. Tiap dua hari sekali, dia mengambil lima hingga 10 kilogram bawang goreng dari Yosrizal untuk dijual kembali.
Kepada Media Jambi, ibu dua anak ini mengaku pelanggannya terdiri dari ibu rumah tangga dan pemilik rumah makan. “Untungnya cukup lumayan, satu kilonya saya jual Rp 60.000. Biasanya pelanggannya membeli sedikit. Satu ons saya jual Rp 6.000,” ujarnya kepada Media Jambi, Jumat saat mengambil bawang goreng.
Tiga tahun melayani konsumen berjualan aneka kebutuhan pokok di pasar ini, memberi keuntungan tersendiri buatnya. Selain meringankan, sistem pengambilan barang tanpa modal, artinya barang dijual dahulu setelah laku baru dibayarkan. “Alhamdulillah saya diberi kepercayaan menjual barang tanpa harus mengeluarkan modal lebih dahulu. Makanya kepercayaan ini saya pegang teguh,” tambahnya lagi. Menurut Emmy jualan bawang goreng memiliki peluang, karena saat ini banyak ibu rumah tangga yang membeli bumbu siap saji. “Kalau dulu belum ada cabai giling, bumbu siap saji atau sejenisnya,” ujar warga yang tinggal di Lorong Teluk Kuali, Kelurahan Simpang III Sipin, Jambi ini.
Keuntungan dari jualan bawang goreng juga cukup lumayan. Dalam satu kilo bawang bisa mencapai Rp 20.000. Jadi katanya keuntungan itu bisa menambah modal untuk mengembangkan usaha.(mas)

Senin, 20 September 2010

Pasca Lebaran , Pedagang Mainan Ketiban Rezeki


PEDAGANG musiman yang menjual aneka mainanan anak-anak menggunakan sepeda motor dan di kakilima pasca lebaran ketiban rezeki. Ini terlihat di beberapa tempat rekreasi dan tempat-tempat umum lainnya, selalu diserbu anak-anak. Inilah kesempatan mereka meraup rezeki. Tak sedikit mereka rela tak berlebaran dengan keluarga di kampung halaman.

“Penghasilan berjualan mainan anak-anak selama lebaran cukup lumayan dibandingkan hari-hari biasa. Karena inilah kesempatan mereka membeli mainan menggunakan uang hadiah lebaran,” ujar Swarno (34) satu dari beberapa pedagang mainan yang ditemui Media Jambi, di Taman Rimba Aneka Ria Pall Merah Kota Jambi, Kamis (16/9).

Berjualan permainan anak-anak ini juga harus mengerti selera anak-anak dan persedian barang-barang permainan ini harus lengkap. “Jadi apapun yang hendak dibeli anak-anak harus ada,” ujar warga yang tinggal di Jalan Rusa, Kelurahan Raja Wali Kota Jambi ini.

Begitupun soal harga, barang yang dijual harus disesuaikan dengan kocek anak-anak. Kalau barang yang dijual terlalu mahal tidak akan terbeli oleh mereka. Karena itu dia menyediakan barang dengan harga berkisar antara Rp 10.000 hingga Rp 50.000 per buah. Mainan yang dijual juga beraneka macam seperti boneka, tembak-tembakan, bola plastik dan lain-lainnya.

Lelaki asal Kebumen Jawa Tengah yang merantau ke Jambi tahun 1989 ini menceritakan pengalamanan berjualan mainan. Awalnya berjualan jalan kaki, menjual barang milik orang lain. Setelah beberapa tahun dari hasil berjualan dapat membeli sebuah sepeda ontel. Kemudian dapat membeli stok barang, mandiri tidak lagi bergantung pada orang lain.

Ditanya berapa pendapatan per harinya. Dia tidak bisa menyebutkan tapi yang jelas dari hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, membayar sewa rumah dan mengangsur kredit sepeda motor. “Dari hasil jualan bertahun-tahun saya dapat membeli sebuah sepeda motor walau dibayar dengan cicilan, sebagai alat transportasi menjual dagangan keliling,” ujarnya.

“Kalau hari-hari biasa saya berjualan keliling ke sekolah-sekolah yang ada di Kota Jambi. Tapi kalau musim liburan seperti sekarang ini saya keliling ketempat-tempat rekreasi. Karena ditempat ini pasti banyak anak-anak,” ujarnya.

Walau tidak bisa berlebaran di Jawa tapi ayah satu anak ini tetap bersyukur karena momen hari lebaran dapat menambah penghasilan. “Saya juga sudah lima tahun tidak mudik lebaran. Karena tabungan tidak cukup untuk ongkos pulang. Tapi mudah-mudahan lebaran tahun depan dapat pulang ke Jawa,” tambah dia lagi.

Pedagang mainan keliling ini berharap kepada pemerintah dapat memberikan pinjaman modal usaha. “Andai punya modal besar saya bercita-cita membuka agen mainan anak-anak di Kota Jambi ini. Sehingga terhindar dari uberan petugas,” ujar dia sambil melayani pembeli.

“Enaknya jualan keliling menggunakan sepeda motor bila diuber petugas cepat lari. Sehingga dapat terhindar dari kerugian dan penyitaan barang oleh petugas. Saya heran mengapa petugas dari Satpol PP selalu melarang pedagang berjualan. Padahal tidak mengganggu, untuk masuk kami bayar retribusi. Kami cari makan untuk anak isteri,” ujar dia dengan nada kesal. (mas)

Sosis Goreng ala Sutiman Disukai Anak-anak


SEBUAH kotak yang berisi peralatan dapur berupa kompor minyak tanah, kuali selalu dibonceng Sutiman (30) di atas sepeda motornya, sembari keliling kampung. Kompor itu digunakan untuk menggoreng sosis, penganan berbahan baku tepung sagu yang dicampur daging ayam dan sangat disukai anak-anak terutama anak-anak sekolah dasar (SD).

Lelaki asal Pati, Jawa Tengah yang merantau ke Jambi tahun 1992 ini mengaku berjualan sosis goreng sejak tahun 2004 lalu. Sebelumnya bekerja serabutan dan sempat berjualan pisang molen. “Saya jualan sosis goreng ini baru lima tahun sebelumnya jualan pisang molen,” ujarnya kepada Media Jambi, Jumat (17/9) saat berjualan dipelataran SD 196 Kota Baru Jambi.

Membuat sosis tidak sulit sama halnya membuat bakso dan bahan bakunya mudah didapat. Agar lebih menarik dibentuk sesuai keinginan dan dimodifikasi. Sosis ini disajikan dengan ditusuk lalu digoreng dan diolesi saos kecap. “Sosis yang saya buat tidak sama dengan sosis buatan pabrik. Bahan bakunya dari tepung sagu dicampur daging ayam ditambah penyedap rasa, tanpa bahan pengawet,” jelasnya.

Dalam sehari dia bisa menjual 600 tusuk dengan harga pertusuknya Rp 500. Untungnya lumayan, dalam sehari bisa memperoleh penghasilan kotor hingga Rp 300 ribu. “Kalau dihitung keuntungan bersih berkisar Rp 200 ribulah,” ujar dia.

Ayah dua anak yang tinggal di Rt 8 Kelurahan Rawasari, Kecamatan Kota Baru Jambi ini mengatakan tertarik membuat sosis goreng karena anak-anak lebih suka makan makanan yang memakai saos dan kecap. “Sebelum jualan saya teliti dulu makanan apa yang disukai anak-anak,” ujar dia lagi.

Untuk menjual makanan ada trik yang harus dipahami yakni bagaimana cara menyajikan makanan agar dapat menarik perhatian konsumen. Baik itu kemasan maupun kebersihananya. “Biarpun rasanya enak tapi cara menyajikan tidak bagus orang tidak akan tertarik untuk membeli. Apalagi anak-anak,” ujar lelaki yang hanya tamatan SMP ini.

Diapun yakin usaha yang dilakoninya ini dapat menjadi penunjang hidup keluarga. Hasil dari jerih payahnya ini selain dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, membiayai anak sekolah dan juga dapat membeli satu unit sepeda motor yang dijadikan alat transportasi. “Alhamdulillah dari hasil usaha ini dapat mengangsur kredit sepeda motor,” ucapnya.

Suami tercinta Sarinah (30) ini berkeinginan membuka usaha yang lebih besar. Namun kendala yang dihadapinya yakni keterbatasan modal. Dia telah beberapa kali mengajukan proposal ke bank dan beberapa perusahaan swasta. Tapi hingga saat ini belum ada satupun yang menyetujui permohonannya ini. “Mau pinjam ke bank harus ada sertifikat tanah sebagai jaminan. Rumah saja masih ngontrak darimana dapat sertifikat,” ujarnya dengan logat Jawa yang kental. Dia berharap suatu saat nanti ada bapak angkat yang mau meminjamkan modal untuk mengembangkan usaha.(mas)

Senin, 30 Agustus 2010

Menganyam Lidi Kelapa


PRODUK anyaman yang terbuat dari lidi kelapa cukup diminati konsumen.Selain harga jual yang murah, produk ini terlihat unik untuk dijadikan pajangan maupun digunakan sehari-hari. f/mas

Mawarni


Souvenir dari Lidi Kelapa
LIDI, benda yang biasa digunakan untuk menyapu dan terbuat dari tulang daun kelapa ini, di tangan Mawarni (30) bisa menjadi benda bernilai seni, barang cendera mata yang terlihat elegan dan memiliki nilai jual yang tinggi.
Inovasi dan kreatifivitas dari limbah pohon kelapa itu ternyata bisa digunakan untuk hal yang lebih besar kegunaannya. Berupa keranjang, piring makan, dan pas bunga yang dijual dengan harga jual Rp 5.000 – Rp 10.000 perbuahnya. “Harga jual tidak terlalu mahal, disesuaikan bentuk dan besar produk,” ujarnya kepada Media Jambi, pada Pekan Kreatif RRI di WCT Batanghari beberapa waktu lalu.
Ibu tiga anak ini, tertarik menggeluti usaha menganyam lidi kelapa menjadi berbagai produk ini karena melihat selama ini bahan bakunya cukup banyak dan hanya terbuang sia-sia. “Kuala Tungkal merupakan daerah penghasil kelapa, lidi daun kelapa hanya dibuang begitu saja,” katanya. Apalagi, dia juga pernah mengikuti pelatihan membuat aneka produk dari lidi kelapa mendorong warga yang tinggal di Desa Tungkal I, Kecamatan Tungkal Ilir, Kabupaten Tanjung Jabung Barat ini, tertarik mengembangkan usaha ini.
Keahlian menganyam dipelajarinya sejak kecil, karena orang tuanya merupakan perajin anyaman daun pandan untuk dijadikan tikar. Katanya soal menganyam tidak asing lagi, karena menganyam lidi tak jauh berbeda dengan menganyam daun pandan. “Menganyam lidi sebenarnya tak begitu sulit, prosesnya tak jauh berbeda dengan menganyam daun padan, hanya saja harus merubah bentuk,” ujar dia.
Kendala utama yang dialami perajin yang tergabung dalam kelompok usaha bersama (KUB) Mawar ini karena masih kurangnya modal untuk mengembangkan usaha. Selain itu juga masih sulitnya memasarkan produk dan hanya terbatas pada kalangan tertentu saja. Hal ini disebabkan karena masyarakat lebih cenderung menggunakan produk impor yang harganya jauh lebih murah. “Untuk memasarkan produk di Kuala Tungkal sangat sulit dan diluar daerah kita baru mempromosikan produk lewat Dekranasda,” katanya.
Proses pembuatan produk cukup gampang, awal lidi daun kelapa dipisahkan lalu dijemur setengah kering. Kemudian dianyam sesuai keinginan, di pernis agar terlihat mengkilat. Kemudian siap dipasarkan. “Membuat aneka souvenir tidak membutuhkan waktu lama, dalam sehari bisa membuat 10 buah,” ujarnya.
Mawarni berharap kepada pemerintah atau instansi terkait mempromosikan produk yang dihasilkan para perajin. Karena di Kuala Tungkal saat ini ada sedikitnya 50 orang perajin yang mengolah limbah daun kelapa ini. “Jika tidak diperhatikan, maka lambat laun, usaha yang saat ini mulai berkembang bisa layu kembali,” tambah dia.
Agar usaha ini dapat bertahan, dalam waktu dekat Mawarni akan membuat galeri tempat menampung hasil-hasil produk para perajin. Karena dia yakin usaha anyaman yang terbuat dari lidi kelapa ini memiliki prospek yang cerah. Untuk itu dia juga terus berinovasi menciptakan produk-produk lain. “Saya berupaya menciptakan produk lain seperti memanfaatan lidi menjadi penyekat dinding ruangan,” ujarnya.(mas)

Hasan


Mahir Stel Pelek Motor

MENYETEL pelek sepeda motor ternyata butuh keahlian juga. Dan, kemahiran yang dimiliki Hasan (37) membuat namanya cukup dikenal di kalangan pemilik kendaraan roda dua di Kota Jambi. Setiap hari bengkelnya, Jelutung Servis di Simpang Lampu Merah Jelutung Kota Jambi, tak pernah sepi pengunjung. “Saya sebenarnya hanya meneruskan usaha yang dirintis orang tua, sejak puluhan tahun lalu. Karena orang tua meninggal saya menggantikannya, lagipula juga memiliki keahlian menyetel pelek,” ujarnya ketika ditemui Media Jambi, Kamis (19/8) di bengkelnya.
Menurut Hasan, usaha stel pelek kendaraan bermotor memiliki peluang cerah. Seiring bertambahnya kendaraan bermotor sebagai alat transportasi pribadi. Dan pemilik kendaraan bermotor tentu akan membutuhkan jasa tukang setel pelek. Apalagi tidak semua orang bisa menyetel pelek. “Salah-salah bukannya jadi bagus tapi tambah galing. Naik sepeda motor serasa menari,” ujar ayah tiga anak ini.
Menyetel pelek memerlukan ketelitian dan kecermatan melihat jari-jari roda bagian mana yang goyang, disamping butuh alat setel. Memperbaiki pelek ban yang rusak tidak bisa dilakukan tergesa-gesa. “Sebab harus diteliti dulu. Jadi pelanggan harus bersabar,” ungkap dia.
Memperbaiki pelek ban membutuhkan waktu sekitar 30 menit kalau tidak terlalu parah. Kalau yang rusak parah harus dipress (dipukul) lebih dahulu menggunakan kayu atau palu agar pelek kembali normal dan tidak bengkok. “Menjual jasa harus bisa memuaskan pelanggan. Itulah sebelum ban dipasang kembali di cek ulang. Apakah sudah tidak galling. Kalau masih galling distelet ulang,” tambah dia.
Untuk menjalankan usaha sehari-hari dia dibantu empat orang karyawan. Setiap hari dia dapat menyetel sekitar 56 buah pelek (28 pasang). Dengan upah kalau rusak ringan Rp 9.000 perbuah atau sepasang Rp 18.000. “Tapi kalau rusak parah bisa lebih mahal, tergantung kerusakannya,” ujarnya lagi.
Selain menjual jasa menyetel pelek dia juga menjual pelek baru dan bekas. Karena ada pelek yang tingkat kerusakan yang sangat parah dan tidak mungkin lagi untuk diperbaiki. Seperti kendaraan eks kecelakaan biasanya ban sudah reok dan harus diganti baru. Biasanya pelek ban yang rusak akibat kendaraan sering masuk lubang atau ban bocor dinaiki. “Sebaiknya kalau ban bocor jangan sekali-kali dinaiki tapi dituntun, sebab tidak hanya pelek yang rusak, tapi ban dalam juga bisa hancur,” kata dia menyarankan. Dari hasil usaha ini, selain dapat memenuhi kebutuhkan keluarga, menggaji karyawan juga dia dapat membuka usaha serupa ditempat lain. “Selain disini saya buka cabang di Simpang Puncak Jelutung,” ujarnya bangga. Dia bangga, karena selain usaha itu bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, juga membuka lapangan kerja bagi pemuda sekitarnya.(mas)

Selasa, 17 Agustus 2010

Perajin Resam


ABDI NUR (48) perajin serat resam tengah menunjukkan proses pembuatan aneka produk berbahan dasar serat resam beberapa waktu lalu. Aneka kreasi anyaman yang terbuat dari serat resam cukup laris terjual. Karena bentuk dan kreasinya yang cukup unik.f/mas

Abdi Nur


Membuat Aneka Produk dari Resam
RESAM merupakan tumbuhan liar (gulma) yang biasa tumbuh di perkebunan karet. Selama ini belum dimanfaatkan karena belum diketahui bagaimana cara mengolahnya sehingga bernilai eknonomis. Padahal tumbuhan itu mudah tumbuh dan mendominasi di daerah ini. Adalah, Abdi Nur (48) yang tertarik menelitinya, dan berhasil menciptakan berbagai produk dari serat resam.
“Usaha ini saya rintis sejak tahun 1995 dan mendapat sambutan hangat dari konsumen. Itulah awal kisah saya membuka usaha kecil-kecilan ini,” ujarnya kepada Media Jambi, Selasa (10/8) di tempat usahanya Desa Suka Maju KM 13 Sebapo Kampung Kalimantan, Kecamatan Mestong, Kabupaten Muaro Jambi.
Menurutnya resam merupakan bahan baku yang sangat baik untuk dijadikan anyaman, karena mutu dan kualitasnya tak kalah dengan rotan. “Hasil anyaman resam memiliki nilai eknomis dan artistic yang cukup bagus,” tuturnya.
Menurut ayah empat anak ini, untuk anyaman yang digunakan adalah seratnya. Batang resam memiliki panjang mencapai 5 sampai 7 meter dan jika sudah tua berwarna coklat kehitam-hitaman. Resam diambil batangnya dan daunnya dibuang. Lalu dikupas untuk diambil isinya, isi batang resam ini bersifat lentur sehingga mudah dianyam, terutama disaat basah. Setelah dianyam dibiarkan mengering dan keras. Diingatkannya, jangan sekali-kali menganyam resam yang sudah kering karena bukannya jadi anyaman tapi patah-patah.
Proses penganyaman agar menjadi sebuah produk sangat sederhana, pertama dianyam kemudian dijemur setelah itu dipernis. Produk anyaman yang dikembangkan berupa tas, vas bunga, tempat buah, topi, gelang, wadah telur, tempat piring, tirai dan wadah antaran pengantin. “Produk dapat disesuaikan dengan pesanan. Apapun jenis anyaman Isya Allah dapat dibuat,” ujarnya lagi.
Keterampilan membuat anyaman ini bermula dari sekadar hoby membuat layang-layang dan berbagai bentuk permainan yang berasal dari bambu. Untuk menganyam dia tidak pernah belajar secara khusus, tapi dipelajari secara otodidak. “Alhamdulillah dari hasil anyaman ini dapat menopang ekonomi keluarga dan dapat membuka lapangan kerja bagi warga desa,” jelasnya.
Guna mengembangkan usaha saat ini Abdi Nur mempekerjakan 10 orang pekerja lepas. Maksudnya bekerja tidak setiap hari tapi jika ada pesanan banyak, karena pemasaran produk masih menunggu pesanan dari pembeli. Karena keterbatasan modal yang dimiliki untuk stok barang produksi. Dalam sehari dapat dikerjakan sekitar 50 buah produk perorangnya.
Bicara masalah harga, menurutnya harga anyaman resam bervariasi tergantung bentuk dan jenis produk yang dijual harga berkisar Rp 50.000 sampai Rp 150.000 perbuahnya. Sedangkan kendala yang dihadapi selain proses produksi juga modal. Proses pengolahan bahan masih dilakukan secara manual. Sehingga kuantitas dan kualitas produksi tidak bisa dicapai. Bila ada permintaan pasar yang cukup besar dibutuhkan waktu yang lama untuk mengolahnya.
Untuk memasarkan produk dia menjalin kerjasama dengan berbagai pihak. Termasuk melakukan kegiatan promosi pada pameran-pameran di berbagai wilayah dalam Provinsi Jambi. Sedangkan prestasi yang pernah diraih pernah mewakili Provinsi Jambi pada pekan pameran teknologi di Mataram dan Jakarta tahun 2004 dan mendapat undangan khusus dari Walikota Surabaya pada acara pameran Surabaya tahun 2005. Selain itu pada pameran produk kreatif di Jakarta tahun 2009 lalu. “Agar produk dapat dikenal saya telah memanfaatkan jaringan internet,” jelasnya.

Didik 500 Perajin
Agar anyaman resam ini dapat berkembang di Provinsi Jambi Abdi Nur mendidik sekitar 500 orang perajin. Banyak diantara mereka telah mandiri dan berkreasi menciptakan aneka produk, mereka tersebar diberbagai pelosok di Provinsi Jambi.
“Saya bangga melihat anak didik saya bisa berhasil. Setidaknya hasil anyaman yang dibuat ini dapat membantu ekonomi keluarga. Dan berapa banyak pengganguran yang dapat bekerja,” ujarnya dengan nada bangga.
Abdi Nur yakin usaha anyaman resam ini dapat bersaing dengan produk lain. Hal ini disebabkan bahan baku cukup banyak dan mudah didapat. Karena pohon resam selama ini tumbuh diberbagai wilayah. Tidak seperti rotan yang saat ini mulai langka.
Namun katanya, pemerintah harus membantu baik inovasi maupun pemasaran. Menganyam membutuhkan ketelitian dan ketekunan serta kesabaran tidak semua orang bisa menganyam. Sebagai tempat menampung hasil kerajinan warga Abdi Nur membuat sebuah galeri.
Kedepan dia bercita-cita untuk mengembangkan dan menambah kreasi dari produk dan terus melakukan promosi sehingga produk anyaman resam ini dapat dikenal dan dapat dijadikan oleh-oleh khas dari Provinsi Jambi. Untuk itu diharapkan kepada Pemerintah Provinsi Jambi dapat membuat pasar khusus cenderamata. Dengan demikian aneka kerajinan khas Jambi dapat diperoleh ditempat itu. “Kita dapat lihat di daerah lain ada pasar cenderamata. Mengapa di Jambi tidak ada. Padahal perajin aneka produk kerajinan cukup banyak,” ungkapnya.(mas)

Selasa, 10 Agustus 2010

Kutu Bulan


KUTU bulan, mungkin jenis produk satu ini masih asing di telinga masyarakat Jambi. Namun, itu adalah karya produktif mahasiswa Universitas Jambi dari batok kelapa, hasil program pendampingan mahasiswa Universitas Jambi bidang wirausaha.

Gilang Muhammad


Mengolah Batok Kelapa Menjadi Kutu Bulan

KUTU bulan, mungkin jenis produk satu ini masih asing di telinga masyarakat Jambi. Namun, itu adalah karya produktif mahasiswa Universitas Jambi dari batok kelapa, hasil program pendampingan mahasiswa Universitas Jambi bidang wirausaha. Produk ini dipersiapkan mengikuti lomba kreativitas dan inovasi muda tingkat nasional tahun 2011 mendatang di Makasar. “Produk kutu bulan merupakan konsep inovasi untuk memberikan nilai tambah pada batok kelapa sehingga menjadi produk yang kreatif yang bisa diterima pasar,” ujar Gilang Muhammad (19) kepada Media Jambi, Kamis, (5/8) disela-sela acara Pekan Kreatif RRI di Mall WTC Batanghari Jambi.
Mahasiswa semester III Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntasi Universitas Jambi, mengatakan ketersediaan batok kelapa sebagai bahan baku di Kota Jambi mencapai empat ton/hari yang tersebar di berbagai pasar, toko manisan. Namun benda ini belum mempunyai nilai tambah sehingga hanya digunakan menjadi arang atau dijual untuk wadah menderes karet dan sebagian dibuang percuma. Padahal batok kepala jika diolah akan memiliki nilai jual yang cukup tinggi dan dapat menambah penghasilan dengan kreativitas tangan terampil.
Anak kembar, buah hati pasangan Ir Dede Martino, MP Sekretaris Program Wirausaha Unja dan Ir Yulma Erita ini melihat batok kelapa tahan air, tahan panas dan tidak mudah pecah bisa diolah menjadi aneka produk seperti cup lampu, kutu bulan dan banyak produk lainnya. “Agar batok kelapa ini memiliki nilai tambah maka perlu disain kreatif yang memiliki nilai estetika dan ekonomi sehingga dapat diterima konsumen,” ujarnya.
Kutu bulan didisain dengan filosofi langit tanpa batas. Artinya disain dieksplorasi dengan berbagai cara dan tidak ada pengekangan disain. Kutu bulan ini bisa jadi tempat wewangian yang dapat dilakukan dengan isi ulang. Dapat digunakan untuk hiasan meja, ruangan tamu atau hiasan di mobil sebagai wewangian.
Pemuda kelahiran Jambi, 21 Mei 1991 ini mengatakan ide membuat kutu bulan ini terinspirasi karena melihat sang ayah Dede Martino (45) yang telah menciptakan berbagai produk kreativitas dan cukup dikenal hingga tingkat nasional. Dan nama kutu bulan ini diberikan karena bentuknya menyerupai kutu dengan ukuran besar. “Oleh adik saya diberi nama kutu bulan,” ujar Gilang.
Sedangkan harga yang ditawarkan cukup tinggi berkisar Rp 50.000 – Rp 70.000/buahnya. Walau mahal namun cukup diminati konsumen, terbukti pada pameran kreativ yang diadakan RRI – Jambi di Mall WTC Batang Hari laris terjual. “Bahkan ada turis dari Turki yang memesan. Dia datang menggunakan penterjemah maklum saya tidak bisa berbahasa Arab,” ujar Gilang.
Pengembangan disain ini masih membutuhkan kreativitas dan akan terus memperbaiki kekurangannya sebab nilai seni akan berpengaruh terhadap penilaian ditingkat nasional. “Tapi saya berharap dapat menjadi nominasi dalam lomba mendatang dan produk ini dapat diterima pasar,” ujarnya.
Hasil kreativitas Gilang ini mendapat apresiasi dan didukungan dari sang ayah Dede Martino. “Saya memberikan kebebasan dia untuk berkreativitas, dan berpikir sehingga usaha ini dapat berkembang. Dan usaha ini dapat menjadi embrio industri kreative di Provinsi Jambi,” ujar Manajer Sentra HAKI Unja yang dihubungi Media Jambi Jumat (6/8) yang saat ini tengah berada di Bali.(mas)

Buka Servis Arloji Terinspirasi Teman


ARLOJI atau yang biasa disebut jam tangan sudah menjadi kebutuhan, karena selain berfungsi alat pengukur waktu juga dapat menambah gaya dan penampilan seseorang. Bahkan bagi sebagian orang yang hoby mengoleksi arloji apalagi arloji itu bermerek.
Namun terkadang arloji yang dipakai sering rewel dan jangan buru-buru dibuang, karena siapa tahu dapat diperbaiki. Ahmad Salabi (43) seorang tukang servis arloji mengaku dapat memperbaki berbagai jenis arloji. Karena untuk memperbaiki sebuah arloji tidak begitu sulit dan spare partnya juga tidak mahal. Paling lama 30 menit. Namun tidak semua jenis onderdil arloji mudah didapat. “Jujur saya katakan semua jenis kerusakan bisa diperbaiki, namun butuh waktu untuk mencari onderdilnya,” ujar kepada Media Jambi, Jumat (23/7) ditempat usahanya Jalan Halim Perdana Kusuma, Pasar Jambi.
Lelaki yang tinggal di lorong Harapan Bawah Rt 05 Kelurahan Pasir Putih Jambi Selatan mengaku usaha servis arloji ini telah ditekuni sejak 30 tahun lalu dan masih tetap bertahan hingga saat ini. Ilmu memperbaiki arloji dipelajari secara otodidak. Dia mengaku awalnya hanya memperhatikan Fery pemilik usaha sebuah toko Jam di Kota Jambi memperbaiki arloji. “Awalnya saya sekadar melihat saja, lalu Fery menyuruh saya membuka jam yang baru untuk dibongkar dan di pasang kembali,” kata suami Ramayana (27) menceritakan awal membuka usaha.
Untuk mendalami ilmunya lelaki paro baya ini rela mengeluarkan uang untuk membeli sebuah jam baru untuk dibongkar pasang. Setelah berhasil barulah memberanikan diri membuka servis arloji.
Menurutnya, biasanya kerusakan terjadi pada sful, dan roda-roda dengan harga mulai dari Rp 10.000 hingga Rp 25.000 dengan upah jasa Rp 15.000. Sedangkan untuk pergantian batere Rp 10.000 yang biasa dan yang kualitas bagus Rp 25.000. ”Kalau ganti batere ada yang murah dan yang mahal tergantung permintaan konsumen. Untuk servis kita berani memberi garansi selama empat bulan,” ujarnya setengah promosi.
Pelanggan cukup banyak dari berbagai kalangan katanya tidak bisa di pastikan asal usulnya yang jelas selalu ada saja yang datang. ”Pelanggan kita tidak pasti ada yang memang kenal dan ada juga yang kebetulan melintas di tempat ini,” ungkap ayah tiga anak ini.
Dalam satu bulannya dia dapat mengantongi penghasilan bersih berkisar Rp 1,5 juta. ”Satu bulan dapatlah menutupi kebutuhan keluarga dan menyisihkan uang kontrakan rumah yang di sewa Rp 2,5 juta pertahunnya,” tuturnya.
Dia pun yakin usaha reparasi arloji ini masih memiliki peluang cerah. Karena tidak semua orang bisa memperbaiki jam yang rusak. Ditambah lagi dengan banyaknya orang arloji sebagai aksesoris tangan. “Jadi saya tetap yakin usaha ini dapat berbemkabang,” tambahnya.(mas)

Rabu, 04 Agustus 2010

usaha servis kompor gas


Usaha servis kompor gas memiliki peluang yang cukup cerah

Bapon Siregar


Jangan Takut Pakai Kompor Gas
BILA kompor gas Anda mengalami gangguan, tidak ada salahnya di bawa ke jasa servis kompor gas. Selain menghindari terjadinya ledakan, juga sekaligus merawat kompor agar aman dipakai. Untuk usaha satu ini, Bapon Siregar (41) adalah satu diantara sejumlah tukang servis kompor gas di Jambi yang membuka usaha sejak 12 tahun lalu. Diapun, menilai rencana konversi minyak tanah ke kompos gas ukuran 3 kilogram, tak perlu dicemaskan.
“Pemakaian kompor gas sebenarnya tidaklah berbahaya hanya kurang sosialisasi saja dari pemerintah tentang pemakaian kompor gas,” katanya. Kebanyakan konsumen yang diberi kompor gas itu orang awam yang biasa menggunakan kayu bakar atau kompor minyak tanah. “Sejak dulu orang memakai kompor gas. Selang dan regulator yang itu-itu juga, tapi kok tidak ada terjadi ledakan,” ujar pemilik usaha Servis Kompor Gas Anggi yang beralamat di Jalan Slamet Riyadi Broni Jambi ini kepada Media Jambi.
Kerusakan yang biasa terjadi pada kompor gas yaitu tabung, regulator, karet tabung, pipa, klep dan api yang tidak normal. “Jika terjadi masalah sebaiknya bawa keahlinya, jangan coba otak-atik sendiri. Sebab sangat berbahaya dan bisa mengancam nyawa dan harta benda,” ujar pria yang membuka usaha servis kompor gas sejak tahun 1998 lalu ini.
Ada tip yang perlu diperhatikan oleh konsumen untuk memakai kompor gas. Pertama perhatikan regulator jangan sampai ada suara berdesis dan menimbulkan bau yang khas. Jika masih berdesis buka regulator dan ganti karet tabung. Kemudian jangan sampai tabung terkena sinar matahari langsung, sebab gas yang ada di dalam tabung akan cepat memuai, sehingga dapat menyebabkan ledakan.
Untuk service kompor gas cukup dengan harga Rp 30.000, apabila mati total bisa mencapai sekitar Rp 80.000 tergantung alat apa yang diperlukan. ”Untuk kompor gas kalau hanya sekadar service tidak begitu mahal, kecuali ada alat yang mesti di ganti, itu hitungannya lain lagi,” ujarnya dengan logat Batak.
Selain memperbaiki kompor yang rusak Regar juga bisa diperbaiki peralatan lain, seperti, kipas angin, magic com, blender, dispenser, strika, open dan lain-lainnya. Pengerjaan katanya tidak memakan waktu lama, hanya saja terkadang sering spare partnya tidak di jual di Jambi dan harus dipesan keluar daerah. ”Untuk pengerjaan semua barang yang rusak palingan 3-4 jam bisa selesai. Tapi yang susahnya onderdil yang terkadang kosong stocknya. Tentu pelangan harus menunggu 2-3 hari,” ujar ayah empat anak ini.
Keahlian memperbaiki kompor gas diperolehnya dengan kursus dan setelah mahir Regar mencoba usaha sendiri. Sebab pada tahun 1990-an lalu di Jambi orang yang memakai kompor gas bisa dihitung dan sulit mencari tukang servis kompor gas jika terjadi kerusakan. “Dulu saya keliling kampung menemui pelanggan, bahkan sampai keluar kota juga menggunakan sepeda motor. Bahkan sampai sekarangpun masih setia dengan pelanggan lama,” kenangnya.
Menganai penghasilan secara diplomatis Regar mengatakan orang menjual jasa sulit ditebak berapa penghasilan perbulannya. Namun katanya dari hasil usaha yang telah digelutinya ini cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dia berharap kepada pemerintah agar memberikan sosialisasi yang benar kepada konsumen. Sebab masyarakat dikalangan bawah gagap teknologi namun mau atau tidak mau program pemerintah ini harus berjalan. “Sebelum diserahkan kepada warga harus diberi penjelasan yang mendetil,” terangnya.
(mas)

Selasa, 27 Juli 2010

Perajin Kursi Rotan


Aneka Jenis produk yang terbuat dari bahan baku rotan dapat diciptakannya, namun kendala yang dialami sulitnya memasarkan produk dan bahan baku sudah mulai berkurang

Syamsul Arifin


Berkreasi Dengan Rotan

ROTAN dikenal sebagai produk yang awet, memiliki serat yang banyak dan tidak mudah patah. Selain itu dapat dibentuk aneka macam produk dan memiliki ukuran lingkar yang bermacam-macam pula. Itulah yang membuat Syamsul Arifin (31) tertarik membuat aneka perabotan dari rotan, seperti mainan kuda-kudaan, kursi tamu, meja makan, hingga tempat tidur alias ranjang. Rancangannya dikerjakan sangat menarik, supaya enak dilihat.
Sayangnya, bahan baku rotan jenis manau, sudah mulai langka. Sedangkan rotan jenis semambu masih cukup banyak di kawasan hutan di Kabupaten Batanghari dan daerah lainnya. “Untuk bahan baku sendiri kami belum menemui kesulitan. Bahan baku rotan dibeli dari pedagang yang berasal dari batanghari. Namun untuk bahan baku manau sudah mulai langka,” ujar lelaki asal Bayuwangi, Jawa Timur yang telah 10 tahun menekuni usaha kreasi dari rotan ini kepada Media Jambi, Kamis (22/7).
Untuk kursi lebih banyak lagi jenisnya, ada kursi goyang, kursi kerja maupun kursi untuk baca. Dengan harga jual bervariasi tergantung ukuran antara Rp 35.000 sampai Rp750.000 perproduk. Proses pembuatan kerajinan itu tidaklah ringan. “Untuk membuat satu stel kusi meja tamu dibutuhkan 35 batang rotan besar, 25 batang rotan sedang, dan lima kilogram rotan kecil,” kata Syamsul yang sebelum terjun ke usaha ini bekerja serabutan pada perusahaan perkayuan.
Biasanya mendekati hari raya, permintaan cenderung naik. Selain itu, perabotan rotan banyak disukai karena lebih tahan lama. Dengan pemakaian normal, kondisi kursi rotan masih bagus dalam lima hingga enam tahun. Produk dipasarkan ke wilayah Jambi dan sekitarnya. Saat ini rata-rata ia mampu menjual tiga set aneka perabot per minggu. Sebab lokasi tempat usaha saya ini kan cukup strategis dipinggir jalan,” ujar ayah dua anak.
Warga yang bermukim di Jalan Pangeran Hidayat Kota Baru Jambi ini juga sering dipanggil menjadi instruktur pelatihan kerajinan rotan. Dia mengaku kendala yang dihadapi adalah kekurangan modal. Dan hingga saat ini belum ada bapak angkat yang melirik usahanya. Padahal hasil kerajinannya cukup dikenal dan sering dipamerkan diberbagai acara baik tingkat provinsi maupun nasional. “Saya cuma minta kepada pemerintah agar dapat memfasilitasi bantuan lunak lewat bank. Sebab meminjam uang pada bank rasanya sangat sulit, harus ada agunan berupa sertifikat,” ujar pengusaha kecil yang mempekerjakan empat orang karyawan ini.
Syamsul juga minta kepada pemerintah agar memberikan penyuluhan tentang budidaya rotan. Sebab rotan yang ada di hutan jika terus diambil akan punah seiring dengan habisnya hutan dan diperkirakan bertahan hingga 10 tahun lagi. “Setelah itu jika tidak secepatnya dilestarikan maka anak cucu kelak tidak akan bisa melihat apa bentuk pohon rotan itu,” ujar perajin yang belajar membuat beraneka produk dari orang tuanya.(mas)

Senin, 19 Juli 2010

Perajin Bubut


Mencari Bapak Angkat

TANGAN kreatif, Darkoni (40) bisa mengolah limbah sisa kayu gergajian menjadi barang berguna. Limbah kayu diolahnya menjadi berbagai perabotan rumah. Produk yang dihasilkan berupa anak tangga, dan stik tangga yang terbuat dari kayu rengas.

Membubut kayu menjadi perabotan rumah ini dipelajarinya secara otodidak. Awalnya menjadi buruh kasar sejak tahun 1994 – 1996 dan bekerja pada seorang pengusaha sambil terus belajar. Barulah pada tahun 1996 dia membuka usaha sendiri dan ternyata berhasil. “Saya belajar membuat berbagai produk hanya secara otodidak tidak ada kursus atau pelatihan sama sekali,” ujar warga yang tinggal di Rt 31 Kelurahan Kelurahan Mayang Mangurai, Kecamatan Kota Baru, Jambi, Jumat (16/7).

Usaha yang dirintis sejak 14 tahun lalu ini, awalnya hanya coba-coba dengan mengolah potongan kayu sisa-sisa yang tak terpakai. Pelan tapi pasti, permintaan pun mulai meningkat. Bahkan, dulu setiap bulan dia memasok produknya ke Deskranasda Provinsi Jambi yang merupakan satu-satunya tempat mempromosikan produknya. Selain itu banyak juga konsumen yang datang langsung ke tempat usahanya. Itulah yang membuat Darkoni dapat mempertahankan usahanya hingga saat ini. Dan dia yakin usaha ini akan terus berkembang walau tanpa binaan dari pemerintah.

Diakuinya ada kendala menjalankan usaha, selain kekurangan modal usaha juga masih sulitnya memasarkan produk. “Sebab produk yang saya hasilkan ini hanya diminati oleh orang-orang tertentu. Saya butuh bapak angkat guna memasarkan produk sehingga dapat dikenal hingga ke luar daerah,” ujar suami tercinta Fitriani (31) ini.

Harga yang ditawarkan bervariasi tergantung bentuk dan besarnya berkisar antara Rp 15.000-Rp 60.000 per buah. Ketika ditanya berapa penghasilan yang diperoleh, secara diplomatis dia menjawab tergantung situasi. “Saya ini menjual jasa jadi tidak bisa menyebutkan secara pasti. Tapi dari hasil usaha ini dapat menafkahi isteri dan anak, serta dapat membayar kontrak tanah,” ujarnya lagi.

Koni begitu dia biasa disapa, mengatakan produk hasil bubutan kayu berupa stik tangga membutuhkan kejelian, ketelitian dan jiwa seni. Karena sepotong kayu bulat yang tanpa bentuk tidak memiliki arti apa-apa. “Ya harus kreatif dan banyak ide,” ujar dia.

Sedangkan untuk mendapatkan bahan baku kayu saat ini mengalami kesulitan. Karena jenis kayu rengas yang bagus untuk membuat stik tangga sudah mulai langka seiring dengan pemberantasan perambahan hutan.

Lelaki asal Komering, Sumatera Selatan ini mengatakan peralatan produksi yang digunakan sangat sederhana, seperti gergaji, amplas dan alat bubut. Dalam sehari dapat memproduksi sebanyak 15 stik tangga besar dan 50 buah stik tangga kecil. Dalam menjalankan usaha Darkoni mempekerjakan tiga orang karyawan.

Walau berjalan selama 14 tahun, namun usaha ini terkesan berjalan ditempat. Pasalnya hingga saat ini belum ada perhatian dan pembinaan dari pemerintah. “Dari memulai usaha hingga saat ini saya belum pernah mendapatkan binaan dari pemerintah. Padahal produk saya sudah cukup dikenal dikalangan pejabat. Tapi saya tidak kecewa yang terpenting tetap berusaha, dan berencana menciptakan produk yang terlihat unik,” tambah dia.(mas)

Kerupuk Udang Berkah Messy

* Terinspirasi Krupuk Lebaran

AWALNYA hanya mencicipi nikmatnya kerupuk udang di waktu Lebaran, menginspirasi Suyatman (28) untuk membuka usaha serupa. Dan, kini, usaha itu terus bertahan, bahkan bisa menopang hidup keluarganya.
Suyatman yang ketika itu masih bekerja sebagai karyawan gudang di sebuah swalayan di Kota Jambi, patut bangga, karena mendapat
dukungan dari sang Bos, yang memang dikenal sebagai pembina industri makanan rumahan (home industri) di Jambi.
“Jadi sambil bekerja di swalayan saya juga menjalankan usaha krupuk udang ini dibantu istri, dan mulai memasukan ke swalayan tempat saya kerja dan juga swalayan lainnnya,” kata Suyatman kepada Media Jambi, Minggu pekan lalu.
Ketika memulai usaha Januari 2008 lalu, Suyatman mengaku mendapat bantuan modal dari seorang teman dekat sebesar Rp 10 juta. “Tapi dalam 10 bulan sudah bisa saya kembalikan. Itupun tanpa bunga,” kata Suyatman.
Nopember 2008 karena semakin banyak permintaan, Ia terpaksa mengundurkan diri sebagai karyawan swalayan yang telah tujuh tahun dijalankannya. “Awalnya memang masih bisa dikerjakan sambilan bersama istri, namun kemudian harus lebih fokus sehingga saya harus berhenti bekerja di swalayan,” kata Suyatman kepada Media Jambi, di rumahnya di Kasang Pudak, Kabupaten Muarojambi.
Saat ini Suyatman mulai menjajaki untuk mengolah sendiri bahan baku kerupuk udang yang selama ini sangat tergantung dengan pasokan kerupuk mentah dari Kota Kuala Tungkal. “Saya hanya menggoreng dan mengemasnya dengan merek sendiri dan kemudian menjualnya melalui swalayan-swalayan yang ada di Kota Jambi dan juga toko-toko penjual pempek. Suyatman menamakan produk krupuk udangnya dengan merek dagang Krupuk Udang Pedas “Berkah Messy 33” Oleh-oleh khas dari Kuala Tungkal Jambi. Diapun sudah mengantongi izin Dinkes No 206157101621. Ada dua jenis produk yang dijual Suyatman, Krupuk kemplang ukuran besar dan kecil serta jenis stick.
Saat ini tenaga pemasaran hanya dikerjakan sendiri oleh Suyatman dan hampir seluruh swalayan di Kota Jambi ada menjual produk krupuknya termasuk Dekranasda Provinsi Jambi. “Kalau keuntungan saat ini bisa mencapai sekitar 30 persen. Tapi belum termasuk kalau ada retur,” kata Suyatman. Menurut Yatman, retur bukan karena tidak laku terjual tapi karena krupuk dalam kemasan banyak yang sudah hancur. “Kalau ketahannya bisa sampai 2,5 bulan, asalkan jangan sampai kemasan bocor bisa membuat krupuk tidak garing lagi,” paparnya. Pemilihan swalayan sebagai pemasaran juga karena Yatman membidik kalangan menengah atas. “Harga satu bungkus Rp 13.500, beratnya sekitar dua ons. Untuk satu kilogram krupuk mentah bisa untuk enam sampai tujuh bungkus krupuk jadi tergantung jenis krupuknya,” jelas Suyatman. Ia juga menjual krupuk mentah di beberapa toko krupuk di Kota Jambi. Dari segi penjualan Yatman mengaku semakin meningkat. “Awalnya dari 20 kg krupuk mentah sekarang setiap bulan sudah bisa menjual 100 kg krupuk,” katanya. Seperti juga industri kecil lainnya, Suyatman mengaku masih membutuhkan bantuan modal untuk memperluas usahanya. “Saya terkendala modal untuk menambah produk dan memperluas pasar. Nanti jika minyak tanah tidak ada lagi dipasaran saya harus mencari solusi lain untuk penggantinya,” ungkapnya. (ade)

Senin, 12 Juli 2010

Gapoktan Usaha Mandiri

Olah Rosela dan Jagung Menjadi “Uang”

BERBAGAI macam produk makanan ringan seperti dodol rossela, sirup rosela, selai, dodol jagung, dodol kates, stik jagung dan aneka keripik sayur dibuatnya. Semua menggunakan bahan baku hasil pertanian petani setempat. “Kita memanfaatkan sumber daya alam lokal, karena berbagai jenis bahan baku ditempat ini cukup tersedia,” ujar Ny Busra Hanem (40) Ketua Gabungan Kelompok Tani Usaha Mandiri, Kelurahan Bagan Pete, Kecamatan Kota Baru Jambi, kepada Media Jambi, pekan lalu.

Busra Hanem merintis usaha produk makanan ringan ini sejak tahun 2008 lalu. Dia tertarik memanfaatkan sumber daya lokal karena melihat hasil produksi petani melimpah namun kesulitan untuk memasarkannya. Sesuai prinsif ekonomi bila permintaan sedikit maka harga cenderung murah dan begitu pula sebaliknya. “Saya melihat hampir seluruh petani menanam rosella di tujuh Kelompok Tani yang ada di Bagan Pete ini sehingga produksi berlimpah,” ujarnya.

Keterampilan membuat aneka macam produk olahan ini diperoleh dari pelatihan yang diikutinya dengan PPL dalam mengembangkan sumber daya alam lokal. Hasil pelatihan itu diterapkan dan ternyata berhasil dan tetap bertahan hingga saat ini. Karena semua bahan baku yang dibutuhkan cukup banyak tersedia.

Selanjutnya produk makanan yang diproduksi cukup laris dipasaran. Dalam sebulan kelompok tani yang memang mengolah aneka hasil tani ini dapat menjual 1.200 kemasan. Harga jual bervariasi tergantung besar kecil kemasan dan jenis produk. Harga berkisar Rp 4.000- Rp 20.000/bungkus. “Penghasilan cukup untuk mengembangkan usaha dan sisanya dibagi untuk kesejahteraan anggota,” terangnya.

Penjualan produk dilakukan dengan menitipkan barang ke pasar swalayan yang ada di Kota Jambi dan hasilnya juga cukup memuaskan, dapat menambah keterampilan ibu-ibu rumah tangga. Setidaknya dapat membatu ekonomi keluarga. “Kelompok usaha mandiri khusus mengolah hasil pertanian menjadi makanan ringan,” ujar Busra Hanem.

Dalam memasarkan produk hingga saat ini belum menemukan kendala yang berarti. Pasalnya produk yang dihasilkan memiliki izin dari Dinas Kesehatan, berkelanjutan dan tidak ada alasan pasar swalayan untuk menolaknya.

Namun demikian masih banyak kendala yang dialami seperti kualitas maupun kuantitas, kemasan yang belum menarik. Selama ini pengolahan produk hanya menggunakan peralatan manual sehingga produk yang dihasilkan juga terbatas. Ada suatu produk yang dihasilkannya memenuhi standar mutu, namun kemasan tidak menarik. “Inilah masalah yang kami hadapi,” tambah ibu dua anak ini.

Warga yang tinggal di Komplek Pinang Merah RT 15 ini mengaku akan terus melakukan inovasi mengolah produk yang dihasilkan petani. Apalagi wilayahnya merupakan areal pertanian. Diapun yakin usaha ini dapat berkembang asalkan kualitas dan mutu dapat dijamin. “Semua produk makanan yang kami buat tidak menggunakan zat pengawet. Produk dapat bertahan paling lama satu bulan,” tambahnya.

Mereka berharap kepada instansi terkait dapat memberi dukungan untuk mengembangkan usaha ini baik dari segi permodalan, pemasaran, pelatihan maupun kemasan. Ditambahkanya, memasok suatu produk ke pasar swalayan tidak sama dengan jualan eceren. Selain harus rutin juga pembayaran setelah barang laku. Artinya modal yang digunakan terpendam, makanya dibutuhkan tambahan modal.(mas)