Selasa, 27 Juli 2010

Perajin Kursi Rotan


Aneka Jenis produk yang terbuat dari bahan baku rotan dapat diciptakannya, namun kendala yang dialami sulitnya memasarkan produk dan bahan baku sudah mulai berkurang

Syamsul Arifin


Berkreasi Dengan Rotan

ROTAN dikenal sebagai produk yang awet, memiliki serat yang banyak dan tidak mudah patah. Selain itu dapat dibentuk aneka macam produk dan memiliki ukuran lingkar yang bermacam-macam pula. Itulah yang membuat Syamsul Arifin (31) tertarik membuat aneka perabotan dari rotan, seperti mainan kuda-kudaan, kursi tamu, meja makan, hingga tempat tidur alias ranjang. Rancangannya dikerjakan sangat menarik, supaya enak dilihat.
Sayangnya, bahan baku rotan jenis manau, sudah mulai langka. Sedangkan rotan jenis semambu masih cukup banyak di kawasan hutan di Kabupaten Batanghari dan daerah lainnya. “Untuk bahan baku sendiri kami belum menemui kesulitan. Bahan baku rotan dibeli dari pedagang yang berasal dari batanghari. Namun untuk bahan baku manau sudah mulai langka,” ujar lelaki asal Bayuwangi, Jawa Timur yang telah 10 tahun menekuni usaha kreasi dari rotan ini kepada Media Jambi, Kamis (22/7).
Untuk kursi lebih banyak lagi jenisnya, ada kursi goyang, kursi kerja maupun kursi untuk baca. Dengan harga jual bervariasi tergantung ukuran antara Rp 35.000 sampai Rp750.000 perproduk. Proses pembuatan kerajinan itu tidaklah ringan. “Untuk membuat satu stel kusi meja tamu dibutuhkan 35 batang rotan besar, 25 batang rotan sedang, dan lima kilogram rotan kecil,” kata Syamsul yang sebelum terjun ke usaha ini bekerja serabutan pada perusahaan perkayuan.
Biasanya mendekati hari raya, permintaan cenderung naik. Selain itu, perabotan rotan banyak disukai karena lebih tahan lama. Dengan pemakaian normal, kondisi kursi rotan masih bagus dalam lima hingga enam tahun. Produk dipasarkan ke wilayah Jambi dan sekitarnya. Saat ini rata-rata ia mampu menjual tiga set aneka perabot per minggu. Sebab lokasi tempat usaha saya ini kan cukup strategis dipinggir jalan,” ujar ayah dua anak.
Warga yang bermukim di Jalan Pangeran Hidayat Kota Baru Jambi ini juga sering dipanggil menjadi instruktur pelatihan kerajinan rotan. Dia mengaku kendala yang dihadapi adalah kekurangan modal. Dan hingga saat ini belum ada bapak angkat yang melirik usahanya. Padahal hasil kerajinannya cukup dikenal dan sering dipamerkan diberbagai acara baik tingkat provinsi maupun nasional. “Saya cuma minta kepada pemerintah agar dapat memfasilitasi bantuan lunak lewat bank. Sebab meminjam uang pada bank rasanya sangat sulit, harus ada agunan berupa sertifikat,” ujar pengusaha kecil yang mempekerjakan empat orang karyawan ini.
Syamsul juga minta kepada pemerintah agar memberikan penyuluhan tentang budidaya rotan. Sebab rotan yang ada di hutan jika terus diambil akan punah seiring dengan habisnya hutan dan diperkirakan bertahan hingga 10 tahun lagi. “Setelah itu jika tidak secepatnya dilestarikan maka anak cucu kelak tidak akan bisa melihat apa bentuk pohon rotan itu,” ujar perajin yang belajar membuat beraneka produk dari orang tuanya.(mas)

Senin, 19 Juli 2010

Perajin Bubut


Mencari Bapak Angkat

TANGAN kreatif, Darkoni (40) bisa mengolah limbah sisa kayu gergajian menjadi barang berguna. Limbah kayu diolahnya menjadi berbagai perabotan rumah. Produk yang dihasilkan berupa anak tangga, dan stik tangga yang terbuat dari kayu rengas.

Membubut kayu menjadi perabotan rumah ini dipelajarinya secara otodidak. Awalnya menjadi buruh kasar sejak tahun 1994 – 1996 dan bekerja pada seorang pengusaha sambil terus belajar. Barulah pada tahun 1996 dia membuka usaha sendiri dan ternyata berhasil. “Saya belajar membuat berbagai produk hanya secara otodidak tidak ada kursus atau pelatihan sama sekali,” ujar warga yang tinggal di Rt 31 Kelurahan Kelurahan Mayang Mangurai, Kecamatan Kota Baru, Jambi, Jumat (16/7).

Usaha yang dirintis sejak 14 tahun lalu ini, awalnya hanya coba-coba dengan mengolah potongan kayu sisa-sisa yang tak terpakai. Pelan tapi pasti, permintaan pun mulai meningkat. Bahkan, dulu setiap bulan dia memasok produknya ke Deskranasda Provinsi Jambi yang merupakan satu-satunya tempat mempromosikan produknya. Selain itu banyak juga konsumen yang datang langsung ke tempat usahanya. Itulah yang membuat Darkoni dapat mempertahankan usahanya hingga saat ini. Dan dia yakin usaha ini akan terus berkembang walau tanpa binaan dari pemerintah.

Diakuinya ada kendala menjalankan usaha, selain kekurangan modal usaha juga masih sulitnya memasarkan produk. “Sebab produk yang saya hasilkan ini hanya diminati oleh orang-orang tertentu. Saya butuh bapak angkat guna memasarkan produk sehingga dapat dikenal hingga ke luar daerah,” ujar suami tercinta Fitriani (31) ini.

Harga yang ditawarkan bervariasi tergantung bentuk dan besarnya berkisar antara Rp 15.000-Rp 60.000 per buah. Ketika ditanya berapa penghasilan yang diperoleh, secara diplomatis dia menjawab tergantung situasi. “Saya ini menjual jasa jadi tidak bisa menyebutkan secara pasti. Tapi dari hasil usaha ini dapat menafkahi isteri dan anak, serta dapat membayar kontrak tanah,” ujarnya lagi.

Koni begitu dia biasa disapa, mengatakan produk hasil bubutan kayu berupa stik tangga membutuhkan kejelian, ketelitian dan jiwa seni. Karena sepotong kayu bulat yang tanpa bentuk tidak memiliki arti apa-apa. “Ya harus kreatif dan banyak ide,” ujar dia.

Sedangkan untuk mendapatkan bahan baku kayu saat ini mengalami kesulitan. Karena jenis kayu rengas yang bagus untuk membuat stik tangga sudah mulai langka seiring dengan pemberantasan perambahan hutan.

Lelaki asal Komering, Sumatera Selatan ini mengatakan peralatan produksi yang digunakan sangat sederhana, seperti gergaji, amplas dan alat bubut. Dalam sehari dapat memproduksi sebanyak 15 stik tangga besar dan 50 buah stik tangga kecil. Dalam menjalankan usaha Darkoni mempekerjakan tiga orang karyawan.

Walau berjalan selama 14 tahun, namun usaha ini terkesan berjalan ditempat. Pasalnya hingga saat ini belum ada perhatian dan pembinaan dari pemerintah. “Dari memulai usaha hingga saat ini saya belum pernah mendapatkan binaan dari pemerintah. Padahal produk saya sudah cukup dikenal dikalangan pejabat. Tapi saya tidak kecewa yang terpenting tetap berusaha, dan berencana menciptakan produk yang terlihat unik,” tambah dia.(mas)

Kerupuk Udang Berkah Messy

* Terinspirasi Krupuk Lebaran

AWALNYA hanya mencicipi nikmatnya kerupuk udang di waktu Lebaran, menginspirasi Suyatman (28) untuk membuka usaha serupa. Dan, kini, usaha itu terus bertahan, bahkan bisa menopang hidup keluarganya.
Suyatman yang ketika itu masih bekerja sebagai karyawan gudang di sebuah swalayan di Kota Jambi, patut bangga, karena mendapat
dukungan dari sang Bos, yang memang dikenal sebagai pembina industri makanan rumahan (home industri) di Jambi.
“Jadi sambil bekerja di swalayan saya juga menjalankan usaha krupuk udang ini dibantu istri, dan mulai memasukan ke swalayan tempat saya kerja dan juga swalayan lainnnya,” kata Suyatman kepada Media Jambi, Minggu pekan lalu.
Ketika memulai usaha Januari 2008 lalu, Suyatman mengaku mendapat bantuan modal dari seorang teman dekat sebesar Rp 10 juta. “Tapi dalam 10 bulan sudah bisa saya kembalikan. Itupun tanpa bunga,” kata Suyatman.
Nopember 2008 karena semakin banyak permintaan, Ia terpaksa mengundurkan diri sebagai karyawan swalayan yang telah tujuh tahun dijalankannya. “Awalnya memang masih bisa dikerjakan sambilan bersama istri, namun kemudian harus lebih fokus sehingga saya harus berhenti bekerja di swalayan,” kata Suyatman kepada Media Jambi, di rumahnya di Kasang Pudak, Kabupaten Muarojambi.
Saat ini Suyatman mulai menjajaki untuk mengolah sendiri bahan baku kerupuk udang yang selama ini sangat tergantung dengan pasokan kerupuk mentah dari Kota Kuala Tungkal. “Saya hanya menggoreng dan mengemasnya dengan merek sendiri dan kemudian menjualnya melalui swalayan-swalayan yang ada di Kota Jambi dan juga toko-toko penjual pempek. Suyatman menamakan produk krupuk udangnya dengan merek dagang Krupuk Udang Pedas “Berkah Messy 33” Oleh-oleh khas dari Kuala Tungkal Jambi. Diapun sudah mengantongi izin Dinkes No 206157101621. Ada dua jenis produk yang dijual Suyatman, Krupuk kemplang ukuran besar dan kecil serta jenis stick.
Saat ini tenaga pemasaran hanya dikerjakan sendiri oleh Suyatman dan hampir seluruh swalayan di Kota Jambi ada menjual produk krupuknya termasuk Dekranasda Provinsi Jambi. “Kalau keuntungan saat ini bisa mencapai sekitar 30 persen. Tapi belum termasuk kalau ada retur,” kata Suyatman. Menurut Yatman, retur bukan karena tidak laku terjual tapi karena krupuk dalam kemasan banyak yang sudah hancur. “Kalau ketahannya bisa sampai 2,5 bulan, asalkan jangan sampai kemasan bocor bisa membuat krupuk tidak garing lagi,” paparnya. Pemilihan swalayan sebagai pemasaran juga karena Yatman membidik kalangan menengah atas. “Harga satu bungkus Rp 13.500, beratnya sekitar dua ons. Untuk satu kilogram krupuk mentah bisa untuk enam sampai tujuh bungkus krupuk jadi tergantung jenis krupuknya,” jelas Suyatman. Ia juga menjual krupuk mentah di beberapa toko krupuk di Kota Jambi. Dari segi penjualan Yatman mengaku semakin meningkat. “Awalnya dari 20 kg krupuk mentah sekarang setiap bulan sudah bisa menjual 100 kg krupuk,” katanya. Seperti juga industri kecil lainnya, Suyatman mengaku masih membutuhkan bantuan modal untuk memperluas usahanya. “Saya terkendala modal untuk menambah produk dan memperluas pasar. Nanti jika minyak tanah tidak ada lagi dipasaran saya harus mencari solusi lain untuk penggantinya,” ungkapnya. (ade)

Senin, 12 Juli 2010

Gapoktan Usaha Mandiri

Olah Rosela dan Jagung Menjadi “Uang”

BERBAGAI macam produk makanan ringan seperti dodol rossela, sirup rosela, selai, dodol jagung, dodol kates, stik jagung dan aneka keripik sayur dibuatnya. Semua menggunakan bahan baku hasil pertanian petani setempat. “Kita memanfaatkan sumber daya alam lokal, karena berbagai jenis bahan baku ditempat ini cukup tersedia,” ujar Ny Busra Hanem (40) Ketua Gabungan Kelompok Tani Usaha Mandiri, Kelurahan Bagan Pete, Kecamatan Kota Baru Jambi, kepada Media Jambi, pekan lalu.

Busra Hanem merintis usaha produk makanan ringan ini sejak tahun 2008 lalu. Dia tertarik memanfaatkan sumber daya lokal karena melihat hasil produksi petani melimpah namun kesulitan untuk memasarkannya. Sesuai prinsif ekonomi bila permintaan sedikit maka harga cenderung murah dan begitu pula sebaliknya. “Saya melihat hampir seluruh petani menanam rosella di tujuh Kelompok Tani yang ada di Bagan Pete ini sehingga produksi berlimpah,” ujarnya.

Keterampilan membuat aneka macam produk olahan ini diperoleh dari pelatihan yang diikutinya dengan PPL dalam mengembangkan sumber daya alam lokal. Hasil pelatihan itu diterapkan dan ternyata berhasil dan tetap bertahan hingga saat ini. Karena semua bahan baku yang dibutuhkan cukup banyak tersedia.

Selanjutnya produk makanan yang diproduksi cukup laris dipasaran. Dalam sebulan kelompok tani yang memang mengolah aneka hasil tani ini dapat menjual 1.200 kemasan. Harga jual bervariasi tergantung besar kecil kemasan dan jenis produk. Harga berkisar Rp 4.000- Rp 20.000/bungkus. “Penghasilan cukup untuk mengembangkan usaha dan sisanya dibagi untuk kesejahteraan anggota,” terangnya.

Penjualan produk dilakukan dengan menitipkan barang ke pasar swalayan yang ada di Kota Jambi dan hasilnya juga cukup memuaskan, dapat menambah keterampilan ibu-ibu rumah tangga. Setidaknya dapat membatu ekonomi keluarga. “Kelompok usaha mandiri khusus mengolah hasil pertanian menjadi makanan ringan,” ujar Busra Hanem.

Dalam memasarkan produk hingga saat ini belum menemukan kendala yang berarti. Pasalnya produk yang dihasilkan memiliki izin dari Dinas Kesehatan, berkelanjutan dan tidak ada alasan pasar swalayan untuk menolaknya.

Namun demikian masih banyak kendala yang dialami seperti kualitas maupun kuantitas, kemasan yang belum menarik. Selama ini pengolahan produk hanya menggunakan peralatan manual sehingga produk yang dihasilkan juga terbatas. Ada suatu produk yang dihasilkannya memenuhi standar mutu, namun kemasan tidak menarik. “Inilah masalah yang kami hadapi,” tambah ibu dua anak ini.

Warga yang tinggal di Komplek Pinang Merah RT 15 ini mengaku akan terus melakukan inovasi mengolah produk yang dihasilkan petani. Apalagi wilayahnya merupakan areal pertanian. Diapun yakin usaha ini dapat berkembang asalkan kualitas dan mutu dapat dijamin. “Semua produk makanan yang kami buat tidak menggunakan zat pengawet. Produk dapat bertahan paling lama satu bulan,” tambahnya.

Mereka berharap kepada instansi terkait dapat memberi dukungan untuk mengembangkan usaha ini baik dari segi permodalan, pemasaran, pelatihan maupun kemasan. Ditambahkanya, memasok suatu produk ke pasar swalayan tidak sama dengan jualan eceren. Selain harus rutin juga pembayaran setelah barang laku. Artinya modal yang digunakan terpendam, makanya dibutuhkan tambahan modal.(mas)

Sujarwo, Peternak Ayam Petarung

AYAM Bangkok amat terkenal di kalangan pehobi ayam petarung. Ayam yang induknya berasal dari Thailand itu diakui punya kualitas yang bagus sebagai jagoan di arena. Jadi, jangan heran bila di pasaran ada banyak ayam bangkok yang dijual dengan harga dan kualitas beragam. Dari yang bermutu impor sampai hasil silangan lokal.

Sujarwo (40), seorang peternak ayam bangkok silangan lokal, yang beralamat di RT 11 No 34 Kelurahan Pall Merah Lama Kecamatan Jambi Selatan Kota Jambi mengaku memelihara ayam sebagai penyalur hobi. Namun, memelihara ayam aduan harus telaten tidak bisa sembrono. “Kandang harus bersih, dirawat sejak usia dini, pemberian pakan dan vitamin harus dilakukan teratur,” katanya kepada Media Jambi, Selasa (6/7).

Lelaki asal Madiun Jawa Timur yang merantau ke Jambi tahun 1985, ini memelihara ayam aduan sejak tahun 2001. Awalnya hanya bermodalkan Rp 80.000 yang dibelikannya empat ekor anakan impor. Setelah besar dijual dengan harga Rp 300.000 per ekor, kemudian dibelikan lagi ayam betina sebagai induk. Hingga saat ini berkembang tak kurang dari 100 ekor yang siap bertarung. Beternak ayam aduan ini dijadikan sebagai usaha sampingan.

Harga ayam aduan ini cukup tinggi, bila dibadingkan harga ayam potong. Anak ayam yang baru berumur dua bulan saja dijual Rp 50.000 per ekor. Sedangkan yang sudah bisa bertarung dijual berkisar Rp 150.000 sampai Rp 300.000 per ekor. Mahalnya harga ayam aduan ini tidak lain karena tidak semua orang bisa merawat ayam jenis ini. Ayam aduan ini memiliki ciri-ciri tersendiri. “Dapat dilihat dari batok kepala dan tulang alis yang tebal, kepala berbentuk buah pinang, bulu mengkilap dan kaku, kaki bersisik kasar, saat berdiri sikap badannya tegak, mata masuk ke dalam, pukulan keras dan akurat,” ujar dia.

Ayah tiga anak yang juga petani penggarap tanah Angkasa Pura ini mengingatkan untuk berhati-hati memilih ayam bangkok yang akan dijadikan jagoan. Jangan sampai kecewa lantaran ayam yang ditawarkan tak sesuai harapan. Sebab saat ini ayam bangkok yang beredar di pasaran cukup banyak jenisnya. “Ada yang beneran impor, anakan impor, dan ada pula yang lokal,” ujarnya.

“Seekor ayam aduan bisa mulai diadu jika umurnya sudah delapan bulan. Atau paling nggak sudah dapat latihan tarung sebanyak dua atau tiga kali dengan ayam yang sudah berpengalaman,” sebut Jarwo. Berdasarkan pengalaman, tiap kali latihan dibutuhkan waktu bertahap dari 1 x 10-15 menit sampai 2 x 45 menit. Sebetulnya umur terbaik sebagai ayam petarung adalah 1,5 tahun atau setelah ayam mengalami rontok bulu pertama. (mas)