Rabu, 29 September 2010

Membeli bawang goreng


Pedagang pengecer membeli bawang goreng untuk dijual kembali.

Yosrizal


Pasarkan Bawang Goreng Hingga ke Kabupaten

AROMA bawang goreng menyeruak disekitar kediaman Yosrizal (44). Seorang pedagang bawang goreng di Jalan Dewi Sartika Pasar Kota Jambi. Meski terbilang usaha kecil dan menengah, siapa sangka tiap hari Yosrizal mampu menjual hingga 200 kilogram bawang goreng. Dengan harga jual rata-rata Rp 40 ribu per kilogram, omzet jual beli perhari mencapai Rp 8 juta.
Tidak hanya menguntungkan secara pribadi. Hadirnya beberapa usaha sejenis ternyata memberi keuntungan bagi kalangan ibu rumah tangga. Karena tidak perlu repot membeli bawang mentah untuk digoreng sebagai penyedap rasa masakan.
Dalam mengembangkan usaha, Yoyos—demikian dia biasa disapa mengaku memiliki sistem saling percaya. Dia tidak membeli barang dalam bentuk tunai. Melainkan berhutang pada pemasok. Setelah bawang goreng terjual, baru dia melunasi hutang pada pemasok.
“Karena saya tidak memiliki modal untuk membeli bahan baku secara tunai. Jadi utang barang dibayar dengan bawang goreng. Begitu juga halnya yang diterapkan kepada para pengecer. Pengecer membayar uang setelah barang laku terjual,” ujarnya menjawab Media Jambi, Jumat, (24/9).
Lelaki asal Sarolangun ini bercerita, awalnya hanya menjual lima kilogram bawang goreng untuk dipasarkan sendiri. Ternyata, usahanya mendapat sambutan hangat. Semakin waktu, jumlahnya meningkat hingga memiliki beberapa pedagang pengecer. “Padahal awalnya tidak ada pengalaman sama sekali. Yang penting mau tekun dan terus berusaha,” ujar suami Dewi (40) ini sambil terus menggoreng bawang.
Saat ini, dia mampu memproduksi hingga 200 kilogram bawang goreng yang dipasarkan oleh 30 pengecer. Tiap pengecer mengambil antara lima hingga 10 kilogram per hari. Dengan harga jual Rp 40.000/kgnya, omzet jual beli per hari mencapai Rp 8 juta. “Sedangkan bahan baku didatangkan dari Kerinci, Dumai Provinsi Riau dan dari Pulau Jawa,” ujar lelaki yang membuka usaha sejak tahun 2008 di Jambi dan mengaku juga pernah membuka usaha serupa di Pekan Baru Riau dan Kota Bangko.
Setiap hari, dia membutuhkan 40 kilogram minyak goreng dan dua tabung gas elpiji ukuran 15 kilogram. Laju usaha yang terus berkembang membuat dia mampu mempekerjakan 10 karyawan untuk mengupas dan mengiris bawang. Sedangkan proses penggorengan tetap dilakukan sendiri untuk menjaga kepercayaan konsumen.
Pemasaran bawang goreng produksinya tidak saja di pasar tradisional yang ada di Kota Jambi. Namun merambah hingga ke Sarolangun dan Bangko. “Mudah-mudahan jika di Jambi sukses, saya akan membuka cabang di Kota Palembang,” ujarnya.
Dia tak ingin menjual produknya ke pasar swalayan, karena bagi kalangan menengah ke bawah jarang berbelanja di pasar swalayan harus membeli dalam jumlah yang banyak. Ibu-ibu rumah tangga biasanya kantongnya terbatas dan hanya bisa membeli dalam jumlah kecil. “Jadi kalau membeli dengan pengecer bisa beli setengah ons saja,” tambahnya.
Guna menambah modal usaha, dia beberapa kali mengajukan pinjaman modal ke Bank baik milik pemerintah maupun swasta tapi tak ada satupun proposal yang diterima. Padahal usaha ini memiliki peluang yang cerah. Karena usaha semacam ini diyakininya dapat berkembang seiring dengan perkembangan zaman. “Setiap masakan tentunya membutuhkan bawang goreng untuk penyedap rasa,” ujarnya lagi.
Walau tidak mendapat tambahan modal dari Bank, namun Yoyos tidak kecewa, karena dari hasil usaha yang ditekuni itu dapat menyewa dua unit ruko yang digunakan untuk proses produksi, dan menyimpan bahan baku. “Yang jelas ekonomi keluarga dan gaji karyawan dapat tertutupi. Kalau keuntungan tidak bisa diprediksi, usaha tergantung situasi pasar, sebab harga bahan baku selalu berubah-ubah,” jelasnya.
(mas)

Emmy : Berbekal Kepercayaan


EMMY (32), seorang pengecer bawang goreng di Pasar Keluarga Kelurahan Simpang III Sipin Jambi mengaku dagangan bawang gorengnya cukup laris terjual. Tiap dua hari sekali, dia mengambil lima hingga 10 kilogram bawang goreng dari Yosrizal untuk dijual kembali.
Kepada Media Jambi, ibu dua anak ini mengaku pelanggannya terdiri dari ibu rumah tangga dan pemilik rumah makan. “Untungnya cukup lumayan, satu kilonya saya jual Rp 60.000. Biasanya pelanggannya membeli sedikit. Satu ons saya jual Rp 6.000,” ujarnya kepada Media Jambi, Jumat saat mengambil bawang goreng.
Tiga tahun melayani konsumen berjualan aneka kebutuhan pokok di pasar ini, memberi keuntungan tersendiri buatnya. Selain meringankan, sistem pengambilan barang tanpa modal, artinya barang dijual dahulu setelah laku baru dibayarkan. “Alhamdulillah saya diberi kepercayaan menjual barang tanpa harus mengeluarkan modal lebih dahulu. Makanya kepercayaan ini saya pegang teguh,” tambahnya lagi. Menurut Emmy jualan bawang goreng memiliki peluang, karena saat ini banyak ibu rumah tangga yang membeli bumbu siap saji. “Kalau dulu belum ada cabai giling, bumbu siap saji atau sejenisnya,” ujar warga yang tinggal di Lorong Teluk Kuali, Kelurahan Simpang III Sipin, Jambi ini.
Keuntungan dari jualan bawang goreng juga cukup lumayan. Dalam satu kilo bawang bisa mencapai Rp 20.000. Jadi katanya keuntungan itu bisa menambah modal untuk mengembangkan usaha.(mas)

Senin, 20 September 2010

Pasca Lebaran , Pedagang Mainan Ketiban Rezeki


PEDAGANG musiman yang menjual aneka mainanan anak-anak menggunakan sepeda motor dan di kakilima pasca lebaran ketiban rezeki. Ini terlihat di beberapa tempat rekreasi dan tempat-tempat umum lainnya, selalu diserbu anak-anak. Inilah kesempatan mereka meraup rezeki. Tak sedikit mereka rela tak berlebaran dengan keluarga di kampung halaman.

“Penghasilan berjualan mainan anak-anak selama lebaran cukup lumayan dibandingkan hari-hari biasa. Karena inilah kesempatan mereka membeli mainan menggunakan uang hadiah lebaran,” ujar Swarno (34) satu dari beberapa pedagang mainan yang ditemui Media Jambi, di Taman Rimba Aneka Ria Pall Merah Kota Jambi, Kamis (16/9).

Berjualan permainan anak-anak ini juga harus mengerti selera anak-anak dan persedian barang-barang permainan ini harus lengkap. “Jadi apapun yang hendak dibeli anak-anak harus ada,” ujar warga yang tinggal di Jalan Rusa, Kelurahan Raja Wali Kota Jambi ini.

Begitupun soal harga, barang yang dijual harus disesuaikan dengan kocek anak-anak. Kalau barang yang dijual terlalu mahal tidak akan terbeli oleh mereka. Karena itu dia menyediakan barang dengan harga berkisar antara Rp 10.000 hingga Rp 50.000 per buah. Mainan yang dijual juga beraneka macam seperti boneka, tembak-tembakan, bola plastik dan lain-lainnya.

Lelaki asal Kebumen Jawa Tengah yang merantau ke Jambi tahun 1989 ini menceritakan pengalamanan berjualan mainan. Awalnya berjualan jalan kaki, menjual barang milik orang lain. Setelah beberapa tahun dari hasil berjualan dapat membeli sebuah sepeda ontel. Kemudian dapat membeli stok barang, mandiri tidak lagi bergantung pada orang lain.

Ditanya berapa pendapatan per harinya. Dia tidak bisa menyebutkan tapi yang jelas dari hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, membayar sewa rumah dan mengangsur kredit sepeda motor. “Dari hasil jualan bertahun-tahun saya dapat membeli sebuah sepeda motor walau dibayar dengan cicilan, sebagai alat transportasi menjual dagangan keliling,” ujarnya.

“Kalau hari-hari biasa saya berjualan keliling ke sekolah-sekolah yang ada di Kota Jambi. Tapi kalau musim liburan seperti sekarang ini saya keliling ketempat-tempat rekreasi. Karena ditempat ini pasti banyak anak-anak,” ujarnya.

Walau tidak bisa berlebaran di Jawa tapi ayah satu anak ini tetap bersyukur karena momen hari lebaran dapat menambah penghasilan. “Saya juga sudah lima tahun tidak mudik lebaran. Karena tabungan tidak cukup untuk ongkos pulang. Tapi mudah-mudahan lebaran tahun depan dapat pulang ke Jawa,” tambah dia lagi.

Pedagang mainan keliling ini berharap kepada pemerintah dapat memberikan pinjaman modal usaha. “Andai punya modal besar saya bercita-cita membuka agen mainan anak-anak di Kota Jambi ini. Sehingga terhindar dari uberan petugas,” ujar dia sambil melayani pembeli.

“Enaknya jualan keliling menggunakan sepeda motor bila diuber petugas cepat lari. Sehingga dapat terhindar dari kerugian dan penyitaan barang oleh petugas. Saya heran mengapa petugas dari Satpol PP selalu melarang pedagang berjualan. Padahal tidak mengganggu, untuk masuk kami bayar retribusi. Kami cari makan untuk anak isteri,” ujar dia dengan nada kesal. (mas)

Sosis Goreng ala Sutiman Disukai Anak-anak


SEBUAH kotak yang berisi peralatan dapur berupa kompor minyak tanah, kuali selalu dibonceng Sutiman (30) di atas sepeda motornya, sembari keliling kampung. Kompor itu digunakan untuk menggoreng sosis, penganan berbahan baku tepung sagu yang dicampur daging ayam dan sangat disukai anak-anak terutama anak-anak sekolah dasar (SD).

Lelaki asal Pati, Jawa Tengah yang merantau ke Jambi tahun 1992 ini mengaku berjualan sosis goreng sejak tahun 2004 lalu. Sebelumnya bekerja serabutan dan sempat berjualan pisang molen. “Saya jualan sosis goreng ini baru lima tahun sebelumnya jualan pisang molen,” ujarnya kepada Media Jambi, Jumat (17/9) saat berjualan dipelataran SD 196 Kota Baru Jambi.

Membuat sosis tidak sulit sama halnya membuat bakso dan bahan bakunya mudah didapat. Agar lebih menarik dibentuk sesuai keinginan dan dimodifikasi. Sosis ini disajikan dengan ditusuk lalu digoreng dan diolesi saos kecap. “Sosis yang saya buat tidak sama dengan sosis buatan pabrik. Bahan bakunya dari tepung sagu dicampur daging ayam ditambah penyedap rasa, tanpa bahan pengawet,” jelasnya.

Dalam sehari dia bisa menjual 600 tusuk dengan harga pertusuknya Rp 500. Untungnya lumayan, dalam sehari bisa memperoleh penghasilan kotor hingga Rp 300 ribu. “Kalau dihitung keuntungan bersih berkisar Rp 200 ribulah,” ujar dia.

Ayah dua anak yang tinggal di Rt 8 Kelurahan Rawasari, Kecamatan Kota Baru Jambi ini mengatakan tertarik membuat sosis goreng karena anak-anak lebih suka makan makanan yang memakai saos dan kecap. “Sebelum jualan saya teliti dulu makanan apa yang disukai anak-anak,” ujar dia lagi.

Untuk menjual makanan ada trik yang harus dipahami yakni bagaimana cara menyajikan makanan agar dapat menarik perhatian konsumen. Baik itu kemasan maupun kebersihananya. “Biarpun rasanya enak tapi cara menyajikan tidak bagus orang tidak akan tertarik untuk membeli. Apalagi anak-anak,” ujar lelaki yang hanya tamatan SMP ini.

Diapun yakin usaha yang dilakoninya ini dapat menjadi penunjang hidup keluarga. Hasil dari jerih payahnya ini selain dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, membiayai anak sekolah dan juga dapat membeli satu unit sepeda motor yang dijadikan alat transportasi. “Alhamdulillah dari hasil usaha ini dapat mengangsur kredit sepeda motor,” ucapnya.

Suami tercinta Sarinah (30) ini berkeinginan membuka usaha yang lebih besar. Namun kendala yang dihadapinya yakni keterbatasan modal. Dia telah beberapa kali mengajukan proposal ke bank dan beberapa perusahaan swasta. Tapi hingga saat ini belum ada satupun yang menyetujui permohonannya ini. “Mau pinjam ke bank harus ada sertifikat tanah sebagai jaminan. Rumah saja masih ngontrak darimana dapat sertifikat,” ujarnya dengan logat Jawa yang kental. Dia berharap suatu saat nanti ada bapak angkat yang mau meminjamkan modal untuk mengembangkan usaha.(mas)