Minggu, 14 November 2010

Jangkrik yang Mendatangkan Duit


Fuad Mulyadi

KALAU dulu, jangkrik hanya dikenal sebagai serangga yang mengisi keheningan malam dengan suaranya yang khas berbunyi, krik.... krik. Dan binatang pengerik ini bisa ditemui berkeliaran di rawa-rawa dan semak belukar. Namun kini hewan kecil ini dibudidayakan bahkan bisa menjadi sumber pendapatan. Beternak jangkrik ternyata cukup menguntungkan.

Usaha satu ini terbilang cukup unik. Idenya datang dari penjual burung yang membutuhkan pakan untuk unggasnya. ”Saat jalan-jalan ke pasar burung empat tahun lalu, banyak orang (pedagang burung) yang menanyakan jangkrik tapi tak ada yang jual,” kata Fuad Mulyadi (38) menceritakan awalnya membuka usaha itu.
Beternak jangkrik tidak sulit, tanpa memerlukan keahlian khusus. Hanya butuh ketelatenan, didukung pengetahuan tentang jangkrik. ”Saya bukan ahli atau sarjana tapi belajar secara otodidak dengan membaca buku-buku tentang budidaya jangkrik. Akhirnya mengerti apa itu jangkrik dan bagaimana cara hidupnya,” katanya kepada Media Jambi saat berkunjung ke rumahnya, Rt 19 No 15 Kelurahan Jelutung Kota Jambi Jumat (12/11).

Budidaya jangkrik nyaris tak ada musuhnya, paling-paling semut dan cicak. Supaya aman jangkrik-jangkrik itu dibesarkan di dalam kotak.
Namun tidak semua orang mampu melakukannya. Banyak rekan-rekannya yang kecewa dan gulung tikar serta beralih pada usaha lain. Bagi ayah dua anak yang empat tahun membudidayakan jangkrik ini, jangkrik adalah permata yang belum digosok. ”Karena harga jangkrik saat ini sangat menggiurkan mencapai Rp 70.000/kg. Keuntungan yang diperoleh peternak sekitar Rp 30.000/ kg,” katanya. Masa panen dari budi daya itu cukup singkat, yakni berumur 30-45 hari. “Jika sudah panen, jangkrik dijual ke toko penjual burung dan pedagang lainnya,” tandas Fuad, panggilan akrabnya.

Makanan jangkrik mudah didapat, seperti sisa-sisa wortel, kol, daun pepaya, dan daun singkong, di samping konsentrat. Untuk beternak jangkrik, suhu ruangan atau kotak penyimpan harus dijaga agar stabil. ”Awas terkena racun saat memberi pakan, jangkrik bisa mati, karena sayuran pada umumnya masih ada yang beracun,” katanya saat membuka kotak tempat pemeriharaan jangkrik.

Selain untuk makanan burung, informasi yang diterimanya menyebutkan, tepung dan minyak jangkrik dapat dimanfaatkan untuk obat dan kosmetik. Sebab, jangkrik berprotein tinggi dan cocok untuk memelihara tubuh dari gangguan penyakit dalam.

Pihaknya hanya mampu menjual di pasar lokal, yang umumnya untuk pakan burung dan ikan arwana serta umpan pancing. Kendala yang dihadapinya hingga saat ini adalah jangkrik sering diserang penyakit. ”Sebab hingga saat ini belum ada vaksin yang bisa menyembuhkan penyakit jangkrik. Kalau jenis unggas ada, mungkin belum ada penelitian kali ya,” kata tamatan STM pembangunan yang memanfaatkan halaman belakang rumahnya sebagai tempat pembudidayaan jangkrik.

Awal tahun lalu ratusan ribu ekor jangkriknya mati terserang penyakit. Namun tidak menyurutkan niatnya untuk mundur atau berhenti dan tak ada kata frustasi. ”Karena terlanjur cinta, tidak seperti teman-teman lain, (jangkriknya) terserang penyakit lantas berhenti,” tuturnya seraya menambahkan, dia berkeinginan usahanya itu mampu menembus pabrik kosmetik, sehingga pernghasilan yang diperoleh setiap bulan selalu stabil. Berbeda bila dijual di pasaran, yang harganya tidak menentu.

Fuad berharap pemerintah daerah khususnya Dinas Peternakan membuat terobosan ekspor jangkrik. Selain itu juga melakukan penelitian terhadap penyakit yang menyerang hewan pemakan rumput ini. Dia juga bercita-cita membentuk wadah asosiasi peternak jangkrik Jambi. Karena saat ini banyak sekali peternak-peternak yang ada di Kota Jambi ini.(mas)

Norma Hutagalung, Mengais Rezeki di Taman Rimba


LEBIH 10 tahun lamanya, Norma Hutagalung (42) bertahan membuka usaha berjualan aneka makanan ringan di Taman Ria eks Arena MTQ Pall Merah Kota Jambi. Dari usaha inilah dia bisa memenuhi kebutuhan keluarga. “Saya mulai usaha, sejak ada MTQ Nasional tahun 1997 dan bisa bertahan hingga saat ini,” ujarnya kepada Media Jambi, Jumat (12/11)

Awalnya dia berjualan di luar arena, barulah pada tahun 2000 dibolehkan masuk di dalam arena. Dengan membayar uang retribusi kepada pengelola taman sebesar Rp Rp 1.000 setiap hari. Dari hasil berjualan ini dapat memenuhi kebutuhan keluarga.

Banyak pengalaman yang didapat selama berjualan. Diantaranya pernah digusur dan ditertibkan oleh Pemerintah Kota Jambi. Tahun 2000 lalu gerobak miliknya pernah disita oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Jambi. Akibatnya dia tidak bisa berjualan. Padahal inilah satu-satunya usaha memenuhi kebutuhan. “Pedagang kakilima juga warga Kota Jambi yang mengerti autran. Tapi apa boleh buat nafkah keluarga harus dipenuhi dan terpaksa berdagang di kakilima,” ujar ibu dua anak ini.

Berjualan di taman ini juga tergantung dari pengunjung yang datang. Jika banyak pengunjung yang datang penjualan juga banyak. Jadi kalau ditanya berapa besar pendapatan juga tergantung dari hasil jual-beli. “Namanya juga berdagang, tidak sama dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki gaji tetap setiap bulan,” tambah dia lagi.

Menurutnya, pengunjung ramai hari minggu dan sore hari. Karena setiap sore banyak anak-anak muda yang membawa pasangan. “Tentunya mereka yang datang setidaknya membeli aneka makanan ringan untuk bersantai. Tapi kalau musim liburan pengunjung cukup ramai, sehingga daganganpun laku,” ujar warga yang tinggal di Rt 17 Kelurahan Talang Bakung ini.

Tak banyak harapan yang diminta kepada pemerintah. Terpenting bagi dia dapat berjualan dengan tenang tak ada lagi pengusiran dan punggusuran. “Pemerintah dalam memberi bantuan hanya kepada mereka yang memiliki modal besar. Tapi tak pernah memperhatikan nasib para pedagang kecil seperti saya. Mungkin takut uang yang dipinjamkan tidak dapat dikebalikan,” ujarnya.

“Saya pernah mengajukan kredit pada bank, untuk menambah modal. Tapi harus ada jaminan sertifikat rumah. Rumah saja masih ngontrak dan untuk menambah modal terpaksa meminjam uang ke koperasi liar yang berbunga tinggi. Diangsur setiap hari,” tambah dia. (mas)

Senin, 08 November 2010

Bertani Jamur Tiram


Yudi Aditya (36) petani jamur tiram di RT 03 Kelurahan Pematang Sulur, Kecamatan Telanaipura Jambi memperlihatkan jamur siap dipanen. Usaha ini cukup

Yudi Adytia


Budidaya Jamur Tiram
Menguntungkan
BANYAK peluang usaha yang bisa dijadikan bisnis, salah satunya adalah bertani jamur tiram. Yudi Aditya (36) warga Lorong Jatra Rt 03 No 36 Kelurahan Pematang Sulur Kecamatan Telanaipura Jambi adalah satu dari beberapa orang yang membudidayakan jamur tiram putih (Pleurotus florida) yang kerap dikonsumsi untuk sayur. Walaupun, berulangkali gagal melakukan uji coba. Namun akhirnya berkat ketekunan dan ketelatenannya usaha ini berhasil, bahkan kini dia kewalahan memenuhi permintaan pasar.
“Kegagalan saya jadikan pemicu semangat sehingga berhasil mencapai 95 persen. Kendala yang dihadapi adalah proses fermentasi dan sterilisasi media serta sulitnya mendapatkan bibit jamur. Terkadang mutunya tidak bagus, karena bibit dikirim dari Bogor dan Yogyakarta,” kata lelaki lajang ini kepada Media Jambi saat berkunjung ketempat usahanya, Jumat (5/11).
Menurutnya, proses pembudidayaan jamur ini diawali dengan persiapan tempat penyemaian bibit atau biasa disebut bag-log yang merupakan tempat tumbuhnya jamur tiram. Dan untuk membuat bag-log dibutuhkan bahan-bahan seperti serbuk gergaji, dedak halus, tepung jagung, Gips (CaSO4), Kalsium Karbonat (CaCO3), TSP/SP 36 dan air secukupnya.
Semua bahan itu dicampur sampai rata kemudian diaduk sambil disirami air. Selanjutnya dimasukkan dalam kantong plastik dan dipadatkan dengan diberi leher dari pipa paralon atau bambu dan dilubangi pada bagian tengahnya lalu ditutup dengan plastik dan diikat dengan karet.
Setelah itu kantong disterilkan pada suhu 90 - 95 derajat celcius selama 5 - 8 jam. Pertumbuhan akan mulai tampak paling lambat 45 hari sejak proses inkubasi, dan bila media tampak kekeringan, perlu dilakukan penyiraman. Tapi juga tergantung jenis serbuk gergaji yang digunakan.
Bila serbuk gergaji yang digunakan kayu keras maka tumbuhnya agak lambat tapi masa produksinya panjang. Dengan suhu di tempat pemeliharaan 25 - 30 derajat celcius, kelembaban berkisar 85 hingga 95 %, dan bila dalam masa inkubasi terjadi kontaminasi, media tanam harus langsung dibuang dan jangan dipertahankan. Setelah satu bulan masa inkubasi, baru mulai tumbuh jamur tiram dan akan terus berproduksi selama 5 bulan ke depan.
“Saat ini saya memiliki bag-log sebanyak 2500 buah dengan hasil produksi 0,3 hingga 0,5 kilogram per-bag-lognya. Bag-log ini bisa berumur 5 bulan, selanjutnya sisa dari media yang tidak habis setelah panen bisa digunakan untuk pupuk organik (kompos) interval pemanenan dari 1 bag-log lebih kurang 3 minggu,” ujar alumnus Fakultas Ekonomi Unja tahun 2001 yang membudidayakan jamur tiram putih dengan membuat sebuah pondokan yang terbuat dari atap daun berukuran 10 x 6 meter.
Di dalam pondokan itu terlihat ribuan baglog yang disusun rapi. Pada bagian depannya terlihat memutih bertanda jamur akan mulai tumbuh. Sekali produksi setiap harinya tak kurang dari 7 hingga 10 kg dengan harga jual Rp 20.000 perkgnya. Kedepan jika ada modal yang cukup dia bercita-cita akan mengembangkan usaha secara komersial dan bersedia memberikan pelatihan bagi rekan-rekan yang berminat membudidayakan jamur. Karena usaha ini tidaklah terlalu sulit, dan memiliki prospek yang cukup cerah. Buktinya dia tak sanggup memenuhi kebutuhan pasar.
(mas)

Bordir Khusus Pakaian Wanita

BIASANYA pembordir mau menerima pesanan berbagai macam jenis bordiran. Tapi yang satu ini lain, dia hanya menerima bordiran khusus untuk pakaian wanita. Itulah yang dilakoni Yatti (33) seorang pengusaha kecil yang bergerak di bidang usaha bordir khusus pakaian wanita yang beralamat di Komplek Setia Negara No D4 Kelurahan Payo Lebar Kecamatan Jelutung Kota Jambi.
Bukannya tidak ingin menerima bordir jenis lain, namun orderan yang terlalu banyak tidak dapat dikerjakan karena keterbatasan alat dan tenaga kerja. “Saya mengkhususkan membordir pakaian wanita dan tidak menerima bordiran yang lainnya, karena saya merupakan pemasok bordiran di salah satu tukang jahit pakaian wanita yang ada di Kota Jambi ini. Dan kalau saya mengambil pesanan berbagai jenis bordiran khawatir tidak akan selesai bukan tidak bisa,” katanya kepada Media Jambi Kamis, (4/11).
Kendala yang dihadapinya sampai saat ini adalah masalah modal dan tempat usaha. Kalau memiliki modal cukup, dia bercita-cita membuka usaha yang lebih besar dan akan mempekerjakan beberapa orang karyawan. “Saat saya bekerja hanya bermodalkan satu buah mesin bordir, dari dulu hingga kini hanya kerja sendiri. Jadi bagaimana mau menerima karyawan. Terkadang banyak orderan yang tak dapat diselesaikan. Seperti menjelang lebaran kemarin orderan numpuk,” katanya.
Dalam sehari dapat kerjakan tidak kurang dari lima hingga tujuh helai pakaian. Tergantung sedikit banyaknya bordiran. “Jika bordirannya banyak ya waktunya agak lama. Jadi tergantung banyak sedikit bahan dan jenis bordiran,” ujar wanita yang memulai usaha sejak tahun 2003 lalu. Adapun jenis bordiran yang dibuatnya berupa serat suci, baju, selendang, dan rok.
Upah membordir dipatok antara Rp 15.000 hingga Rp 30.000 perhelainya, sesuai tingkat kerumitan motif yang diinginkan. “Kalau motifnya sulit ya upahnya juga mahal. Namun kita tidak dapat mematok harga. Harga bisa ditawar, tapi yang pantas. Jangan minta motif macam-macam nawarnya murah,” tandasnya.
Dia berharap instansi terkait agar memperhatikan para pengusaha kecil seperti dirinya. Minimal diberikan pinjaman modal bergulir seperti yang diberikan kepada pengusaha-pengusaha lain. Sejak memulai usaha hingga saat ini dia belum pernah mencicipi bantuan yang diberikan pemerintah. “Pemerintah jangan hanya memperhatikan orang-orang yang usahanya sudah maju. Mereka itu kan hidupnya sudah mapan dan tak perlu lagi dibantu,” tandasnya penuh harap.
Keterampilan membordir diperolehnya dari pelatihan yang diadakan PKK ditambah dengan ikut kursus membordir selama tiga bulan. Setelah selesai kursus mencoba bekerja di salah satu usaha bordir di Kota Jambi. Kemudian setelah mahir dia memutuskan keluar dan membuka usaha sendiri dan menawarkan hasil karyanya pada salah satu penjahit pakaian wanita. Itulah awal ketertarikannya membuka usaha membordir pakaian wanita. “Saya ini masih amatir belum profesional, masih harus belajar terus supaya mahir, dan usaha ini hanya usaha rumahan,” kata ibu dua orang anak ini.(mas)

Senin, 01 November 2010

Berkembang Karena Mengerti Nelayan


Koperasi LEPP Mitra Mandiri

USAHA pemberdayaan ekonomi pesisir melalui koperasi mulai membuahkan hasil nyata. Terbukti, Koperasi Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir (LEPP) Mitra Mandiri di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabar) berkembang pesat.

Koperasi yang berdiri sejak 2002 lalu dikomandoi H Andi Syarifuddin (61) mampu mendirikan beberapa unit usaha. Mulai dari simpan pinjam, Swamitra Mina (penangkapan ikan), kedai pesisir (sejenis usaha waralaba), hingga pengelolaan pabrik es. Hingga kini memiliki 29 karyawan.

''Tujuan utama LEPP meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi, dan penguatan kelembagaan ekonomi dengan mendayagunakan SDM perikanan dan kelautan secara optimal,” kata H Puding begitu dia biasa dipanggil.

Berikut Media Jambi akan menguraikan dua unit usaha yang dikelola oleh Koperasi LEPP Mandiri, yaitu kedai pesisir dan usaha pengolahan es.

Kedai Pesisir
Sediakan Kebutuhan Nelayan
Tidak banyak koperasi yang mampu bertahan lama. Kalaupun ada, aktivitasnya pasang dan surut. Bahkan, ada yang hanya menyisakan papan nama koperasi, sepi tanpa aktivitas. Tapi tidak dengan Kedai Pesisir yang merupakan gerai dari Koperasi LEPP Mitra Mandiri. Beralamat di Jalan Bawal Rt 28 Kampung Nelayan, Kecamatan Tungkal II, Kualatungkal. Kedai ini mulai beroperasi sejak 4 September 2006, dan hingga kini usaha terus berkembang, bahkan omzet per hari lebih Rp 1 juta.
“Kedai ini melayani kebutuhan nelayan terhadap sembilan bahan pokok (sembako), spare part (suku cadang) mesin perahu/kapal dan peralatan penangkapan ikan,” kata manajer Kedai Pesisir Rian Sagita SE kepada Media Jambi, Jumat (22/10). “Berkembangnya kedai pesisir ini ini karena para nelayan sudah mengerti arti pentingnya koperasi. Kita menerapkan sistem swalayan,” tambah Rian.

Sistem swalayan menghantarkan kedai pesisir Kualatungkal ini memperoleh predikat terbaik dari 50 kedai pesisir di Indonesia. Kedai ini juga memiliki sistem komputerisasi yang modern. Jumlah stok barang dapat diketahui dengan mudah.

Menurut alumnus Fakultas Ekonomi (FE) Unja tahun 2000, Kedai Pesisir ini dibuka dengan modal Rp 200 juta, Rp 120 juta untuk modal kerja dan 80 juta berupa investasi. Semua modal berasal dari Koperasi Swamitra. Kedai pesisir ini merupakan kedai periode ke-empat yang berkembang pesat.

Kedai yang beroperasi secara aktif sejak sejak Januari 2007 buka dari pukul 07.30 hingga pukul 22.00 WIB setiap hari. Didukung empat karyawan. “Kami buka dari pagi hingga malam. Sebab para nelayan terkadang pulang pagi dan tak jarang yang pulang malam. Mereka membutuhkan berbagai macam kebutuhan. Saat ini sudah ada 40 nelayan sebagai pelanggan tetap,” ujar Rian.

“Kedai Pesisir didukung SDM yang memadai. Maju mundurnya usaha ini juga tergantung anggota. Untuk hutang kepada pelanggan hanya dangan saling percaya. Karena terkadang sekali melaut belum tentu membawa hasil tangkapan,” tambah Sekretaris Koperasi LEPP Swamitra, Syafrudin SE.

Kedai Pesisir hanya melayani pelanggan dalam bentuk barang. Harga sembako dan kebutuhan nelayan lainnya yang dijual bersaing dengan toko-toko di Kota Kualatungkal. “Nelayan tidak perlu repot. Kembali melaut tidak perlu ganti pakaian dulu. Bisa langsung belanja, semua kebutuhan ada disini. Juga bisa berhutang menjelang menjual hasil tangkapan,” ujar Abduh (31) seorang nelayan saat membeli jala. (mas)

Buka usaha Pabrik Es


Dua kapal penangkap ikan bersandar di dermaga Pelabuhan Perikanan Pantai - PPI Kualatungkal. Kedua kapal itu antre membeli es di pabrik milik Koperasi LEPP Swamitra untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan mereka. Kedua kapal berukuran sekitar 10 ton itu siap berlayar mengarungi lautan pantai timur Sumatera untuk menangkap ikan selama lima hingga enam hari.

“Pabrik es Mandiri Bersama ini memproduksi 240 balok atau setara dengan enam ton es sekali proses 18 jam. Setiap balok seberat 25 kg dijual dengan harga Rp 8.000,” kata Ketua Koperasi LEPP Swamitra H Andi Syarifuddin kepada Media Jambi hari Jumat (22/10). “Setiap hari rata-rata terjual sebanyak 150 batang es. Namun terkadang mencapai 300 batang,” kata dia lagi.

Pabrik es yang baru beroperasi komersil sejak tahun 2007 lalu ini dilengkapi lemari penyimpan berkapasitas 350 balok es. “Lemari penyimpan ini masih kecil, untuk tahap awal cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan nelayan,” ujar Andi Syarifuddin.

Selain melayani empat pedagang ikan di Kota Kuala Tungkal juga melayani nelayan yang membeli langsung ke pabrik. “Untuk pelanggan tetap kita menyediakan servis yakni es diantar ketempat. Karena kita telah menyediakan satu unit pompong untuk itu,” tambah Syafruddin, pimpinan pabrik.

Sekarang ini kondisi nelayan sangat memprihatinkan, terutama nelayan tradisonal. “Selain karena harga kebutuhan naik, terutama bahan bakar minyak (BBM) cuaca kurang bersahabat. Bisa berubah dalam hitungan jam. Para nelayan sangat membutuhkan es guna mengawetkan hasil tangkapannya,” kata Andi lagi. Ada tiga hal penting yang membuat koperasi nelayan berkembang, yaitu memerhatikan kesejahteraan dan pelayanan sosial terhadap nelayan, keamanan dan harga jual hasil tangkap.

Mengelola Koperasi LEPP bagi H Andi merupakan sebuah pengabdian. Karena pernah merasakan pahit getirnya menjadi nelayan. Dia bertekad agar kelak nelayan bisa hidup layak dan memadai. Pendapatan nelayan itu tidak menentu. Bisa saja hari ini dapat rezeki cukup banyak, namun tak jarang pulang tanpa membawa apa-apa. Sama seperti rezeki harimau, kadang untung kadang rugi. “Saya tahu betul suka duka yang dialami nelayan saat mengarungi lautan. Ketika badai datang, kapal terombang-ambing,” ujarnya. (mas)